:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2362434/original/028382300_1537328493-WhatsApp_Image_2018-09-19_at_10.30.01_AM__1_.jpeg)
Liputan6.com, Jakarta - Indonesia adalah negara demokrasi. Menurut KBBI, demokrasi secara harafiah diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat.
Selain itu, demokrasi juga disebut sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Media ternama Amerika Serikat, The Economist, pernah merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30 Januari 2018. Indeks itu merupakan proyek salah satu sayap lembaga think-tank media tersebut: The Economist Intelligence Unit (EIU).
Indeks tersebut memaparkan tentang penilaian keberlangsungan demokrasi pada setiap negara dunia, yang diukur dengan menggunakan lima variabel penilaian.
Lima variabel penilaian indeks demokrasi itu meliputi: (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil. Hasil penilaian yang diukur dari kelima variabel itu akan menghasilkan skor rata-rata yang dijadikan sebagai tolak ukur penetapan peringkat indeks.
Negara yang duduk di peringkat 19 teratas dalam indeks tersebut dikategorikan oleh EIU The Economist sebagai negara dengan pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi secara penuh.
Dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia 2017 versi The Economist, Indonesia bertengger pada posisi 68 dan tergolong dalam kategori negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies (rentang 20 - 76). Seperti dikutip dari The Economist, Indonesia memiliki skor rata-rata 6,39.
Media AS itu mencatat, variabel "proses elektoral dan pluralisme" RI memiliki skor 6,92. Sementara, variabel "keberfungsian pemerintahan" Indonesia memiliki skor 7,14 --skor tertinggi dari total lima variabel penilaian. Sementara itu, variabel "partisipasi politik", "kultur politik", dan "kebebasan sipil" Indonesia memiliki skor 6,67; 5,63; dan 5,59.
The Economist menyebut bahwa posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016 -- menjadi sebuah noktah hitam bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air.
Penyebab kemerosotan itu, menurut The Economist, dipicu oleh "Dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017", isu seputar mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, serta bangkitnya gerakan sosial-masyarakat berbasis keagamaan. Terlebih saat ini, rakyat sudah melek informasi dan bisa memafaatkan media sosial (medsos) untuk beropini serta menyampaikan kritik.
Menanggapi hal tersebut, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, memuji sistem demokrasi yang diterapkan pemerintah RI dalam era internet, seiring berkembangnya teknologi. Ia pun menggaris bawahi pentingnya untuk memahami hak-hak minoritas yang tinggal di Tanah Air.
"Sebagai negara yang punya jumlah penduduk Muslim paling besar, saya kira Indonesia berpotensi untuk menjadi contoh umat Muslim di seluruh dunia dan negara-negara yang sedang berkembang," ujar Dubes Moazzam ketika dijumpai awak media dalam forum diskusi yang digelar oleh Kedutaan Besar Inggris, "Democracy in the Social Media Age", Selasa 18 September 2018 di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
"Tapi ada banyak tantangan, juga perjuangan untuk terus membangun sistem pemerintahan yang demokratis. Salah satu isu terbesar, saya kira, adalah hak-hak minoritas karena dalam sebuah negara --apa pun-- kemajuannya, keberhasialannya, kesuksesannya bisa dihitung dari hak-hak minoritas," imbuh Moazzam yang beragama Islam.
Menjelang pesta rakyat atau pemilu 2019 mendatang, Moazzam pun menyampaikan pesan untuk para politikus Indonesia agar tidak 'menggoreng' isu SARA ketika berkampanye. Sebab menurutnya, isu SARA akan memecah belah bangsa dan merugikan negeri ini sendiri.
"Pesan saya ketika bertemu dengan politisi-politisi Indonesia, partai-partai, adalah agar mereka tidak main-main dengan isu SARA. Kalau ada isu SARA, maka ini akan merusak hak minoritas dan merusak sistem politik Indonesia, serta masa depan Indonesia. Sebagai orang asing dari negara sahabat, isu SARA tidak hanya merugikan Indonesia, tapi juga seluruh dunia yang ingin mengenal Indonesia," tegasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Dubes Inggris mengatakan toleransi menghadapi banyak tantangan yang bisa diselesaikan dengan kerjasama satu sama lain.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dubes Moazzam: Politikus Indonesia Jangan Main-Main dengan Isu SARA"
Post a Comment