Search

Keluh Kesah Pembatik Garut di Tengah Lambannya Regenerasi

Liputan6.com, Garut - Sebagai warisan budaya dunia yang telah ditetapkan Unesco, regenerasi pembatik lokal Garut, Jawa Barat, justru terus menurun. Tak ayal hingga kini jumlah perusahaan batik lokal khas Garut bisa dihitung jari.

"Paling yang masih bertahan secara turun temurun sejak dulu, tidak lebih dari lima perusahaan," ujar Agus Sugiarto, 53 tahun, salah seorang pengusaha batik lokal Garut, saat ditemui Liputan6.com, Selasa (2/10/2018).

Memimpin bendera usaha SHD alias 'Saha Deui' (Siapa lagi, red), Agus diwarisi perusahaan rumah batik rumahan dari orang tuanya sejak 1974 silam. Hampir seluruh hidupnya, ia abdikan untuk membesarkan salah satu batik tulis unggulan Garut itu.

"Wasiatnya satu jaga kualitas dan kepercayaan pelanggan," ujar dia berbagi rahasia perusahannya supaya tetap bertahap di tengah ketatnya persaingan dagang saat ini.

Menurutnya, pasar batik tulis Garut memiliki pangsa pasar tersendiri, sehingga bagi sebagian orang, kualitas dan keunggulan batik tulis asal kota dodol ini, tidak diragukan lagi.

"Pasar setia saya memang kalangan tertentu, ada ibu bupati, pejabat, pengusaha dan lainnya," kata dia.

Meskipun memiliki pangsa pasar tersendiri, namun bukannya tidak ada hambatan, banjirnya pasokan batik print alias batik cina dengan harga miring, membuatnya harus pintar mengatur otak untuk menjaga kepercayaan.

"Sebenarnya batik cina itu bukan batik, sebab yang diakui dunia melalui Unesco hanya batik tulis dan cetak," kata dia, menyentil melimpahnya batik negeri panda di masyarakat.

Akibatnya bisa diterka, batik lokal sulit bersaing akibat tidak ekonomis secara harga, hingga akhirnya berdampak seretnya penjualan batik Garutan. "Kenapa batik tulis mahal ? sebab prosesnya lama dan butuh ketelitian, bukan asal print dan perbanyak," kata dia.

Dengan kondisi itu, tak mengherankan minat generasi muda untuk terjun membesarkan batik lokal buatan dalam negeri terus menurun. "Belum lagi butuh ketelitian dan kesabaran, makanya hanya orang tertentu yang secara turun temurun yang mau membatik," kata dia.

Kondisi serupa diakui, Aan Melani (60), pengusaha batik tulis Garutan dengan RM. Sejak merebaknya batik print asal Cina, minat generasi muda menekuni batik terus berkurang.

Tidak mengherankan dalam beberapa kali training dan pelatihan membatik yang ia gelar bersama pemerintah daerah Garut, hanya 20 persen yang akhirnya memilih hidup menjadi pembatik.

"Dari 20 peserta, paling yang jadi pebatik tidak lebih dari lima orang, itu pun biasanya karena orang tua atau keluarganya pembatik," ungkap dia.

Akibatnya, jumlah pembatik asli binaan perusahaan batik yang menggunakan ketiga nama anak pemiliknya itu yakni Rini Marini, Rena Mudiana, dan Ruli Mendiandana itu terus menyusut. Mereka akhirnya menggunakan jasa pembatik dengan usia di atas 50 yang jumlahnya tinggal 20 orang saja.

"Mereka ada di Ciledug, Muara Sanding, dan Karang Pawitan," ujarnya.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2OqVY5c

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Keluh Kesah Pembatik Garut di Tengah Lambannya Regenerasi"

Post a Comment

Powered by Blogger.