Liputan6.com, Aceh - Pria kumisan itu sedang menyandarkan tubuhnya di pintu kiri mini bus berwarna hijau gelap, ketika dari mulutnya mengepul asap membentuk bulatan tak beraturan serupa donat. Tangannya tampak menunjuk-nunjuk kap mobil yang baru didempul itu. Sesekali ia mengiyakan perkataan temannya. Namun ia lebih sering membantah.
Lawan mengobrol pria tersebut adalah seseorang yang sedang duduk diatas sepeda motor hanya sekaki darinya. Semeter dari mereka, dua orang pemuda tampak sedang menyantai di kursi kayu sambil asyikmengutak-atik layar smartphone masing-masing.
Siang itu, ketika jarum jam bertengger di angka dua, bengkel ketok magic bernama 'Barudak' itu tampak lengang. Perkakas seperti dongkrak dan beberapa peralatan lainnya tampak terduduk tanpa tuan.
Kecuali itu, di sudut kanan bengkel, seorang pria berambut gimbal mengenakan kupluk rasta hitam terlihat sibuk. Mata grafir dari mini gerinder ditangannya berputar halus mengeluarkan bunyi melengking. Lengkingannya terkadang terdengar panjang lalu tiba-tiba berhenti, disambung bunyi menyendat dan putus-putus dengan sela tak beraturan. Persis seperti tangisan bocah yang baru disebat ibunya.
Saat lempengan batu itu bersentuhan dengan mata grafir, debu-debu halus mulai beterbangan. Beruntung pria itu mengenakan masker. Hampir setengah jam ia berkutat dengan mini grinder dan lempengan batu berdiameter sedikit lebih besar dari koin 100 rupiah tahun emisi 1973 itu.
Lambat laun, pola ukiran di permukaan batu itu mulai terlihat. Setelah dilap dengan kain, diangkatnya lempengan itu setinggi alis. Matanya tertumpu pada ukiran di batu tersebut. Setelah meraba-raba sejenak tekstur ukirannya, barulah ia puas. "Hasilnya sempurna," gumam pria itu.
Tepat di kiri pria itu terdapat meja yang diatasnya berjejer puluhan liontin berukiran abjad G dan M. Beberapa diantaranya masih polos. Liontin yang baru dikerjakan tadi ditaruh di jejeran liontin yang sudah jadi.
"Ini belum finishing. Semua liontin-liontin ini dipesan oleh seseorang dari Sumedang, Jawa Barat. Kayaknya untuk komunitas atau apa gitu," ucap si pria berambut gimbal bernama asli Asep Setia Bangga (39).
Kali itu, Liputan6.com berkunjung ke bengkelnya di Desa Ujung Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Kamis, 25 Oktober 2018.
Pria asal tatar Sunda yang sudah lama menetap di Aceh ini memang pialang soal ukir mengukir. Beberapa karyanya dapat dilihat di lemari kaca yang diletakkan di sudut bengkel miliknya. Tempat itu sekaligus menjadi ruang kerjanya saat mengerjakan pesanan para pelanggan.
Ukiran batu yang dikerjakan bengbeng, panggilan akrab Asep, rata-rata berbahan batu mulia, khususnya giok jenis blackjade dan nephrite. Namun, banyak juga diantaranya berjenis chalcedony, seperti sulaiman dan madu.
Bermodalkan mesin potong, alat ukir, (mini grinder), serta amplas, batu-batu itu disulap menjadi karya yang indah. Seperti, arca, patung, replika sepeda motor, mobil, replika senjata, dan senjata tajam seperti rencong, kujang, dan tongkat komando. Selain itu, ia juga menempa berbagai aksesori, seperti cincin, kalung, gelang, dan liontin.
Buah karyanya diberi harga sesuai tingkat kesulitan pengerjaan serta jenis batu yang digunakan. Yang paling murah, misal, liontin blackjade atau nephrite, dihargai puluhan hingga ratusan ribu. Namun, banyak juga diantara karyanya dijual dengan harga jutaan. Yang paling mahal mendekati sepuluh juta.
Di antara karyanya yang sering diorder adalah tongkat komando. Seseorang sering memintanya menempa tongkat komando sebagai cinderamata untuk para petinggi TNI/Polri. Sebut saja di antaranya, Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Pangkostrad Agus Kriswanto, dan Mantan Pangdam Iskandar Muda Luczisman Rudy Polandi.
Selain itu, Kapolda Aceh Irjen Pol. Rio S. Djambak dan beberapa nama besar lainnya, termasuk Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra itu pernah diberi cinderamata berupa tongkat komando berkepala garuda hasil polesan tangan terampil Asep alias Bengbeng.
Pria kelahiran Suka Bumi 21 September 1979 ini, mulai menekuni seni ukir batu giok sejak 2014. Saat itu, euphoria batu giok sedang memuncak di Aceh. Berbagai kalangan, jenis kelamin, dan usia begitu menggilai batu mulia tersebut.
Maraknya tren batu giok di Aceh, ditandai pula dengan lahirnya para pedagang 'kaget' yang menawarkan berbagai jenis batu mulia. Saat itu, lapak-lapak pedagang batu mulia bermunculan di tiap sudut dan trotoar jalan.
Di banyak tempat sering terdengar suara menderu dari mesin pengasah. Sementara di warung kopi, orang berlomba-lomba menunjukkan batu akik andalannya. Tidak sedikit pula yang menghadiahi pasangannya cincin atau liontin dari batu mulia.
Namun, perlahan fenomena 'demam giok' mulai menghilang. Lapak-lapak pedagang batu mulai tidak terlihat lagi. Kalaupun ada hanya beberapa. Diantara yang bertahan itu tinggal menghitung hari. Menunggu waktu yang tepat untuk menutup usahanya.
Sebagian lain mengalami kerugian, Bongkahan batu mulia yang dibeli mahal-mahal rupanya tidak laku terjual. Sebagian lagi tertipu, bongkahan batu miliknya dibawa lari pembeli tanpa dibayar sepeserpun. Ragam gejolak saat fenomena 'demam giok' di Aceh itu, kiranya meninggalkan banyak kisah. 'Yang untung tak abadi, yang rugi kesal sendiri'.
Namun, berbeda halnya dengan Asep. Ia tak mundur. Pria yang menetap di Aceh sejak Februari 2005 ini yakin, eksistensi giok di Aceh perlu di-blow up kembali. Menurutnya, batu giok Aceh sudah menjadi ikon batu mulia di Indonesia. Si hijau dari Aceh itu juga masih sering diburu oleh para kolektor.
"Makanya, saya masih mau jalani usaha ukir batu disamping juga buka bengkel ini. Saya ingin giok Aceh ini terus dikenal luas. Makanya kita bertahan," ujar Asep.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2Jj6IxxBagikan Berita Ini
0 Response to "Menanti Kemilau Giok Aceh di Persimpangan Jalan"
Post a Comment