:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2406756/original/015991700_1542079767-GAM1_h.jpg)
Liputan6.com, Aceh Besar - "Bidikan di jidat. Karena mereka, TNI, saat itu berada di ketinggian," demikian Jamaluddin, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang pernah lolos dari bidikan sniper atau penembak jarak jauh itu mengawali kisahnya.
Ketika itu, Jamal dan rekannya dikepung satu pasukan TNI di kawasan hutan Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar 2004, silam.
Saat itu, hari menjelang sore. Jamal sedang menunaikan ibadah salat Asar. Senapan Avtomat Kalashnikova miliknya dia taruh di sampingnya. Sementara, rekannya berjaga-jaga dengan mata awas. Seperti biasa, ketika seseorang di antara mereka salat, yang lain menjaga, begitu pun sebaliknya.
Jamal baru saja menyelesaikan tasyahud awal ketika terdengar suara mendesing di antara pepohonan. Dia terkesiap. Terasa ada embusan angin melewati kepalanya. Peluru dari sniper yang mengincar kepalanya itu tak mengenai sasaran.
"Allah masih berkehendak lain saat itu. Dan saya selamat hingga hari ini," ucap lelaki yang memangku senapan sejak di bangku sekolah menengah kepada Liputan6.com, Selasa (13/11/2018).
Hari itu, kontak tembak antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah IV Aceh Besar yang dikomandoi Tengku Muharram dengan TNI tidak dapat dielakkan. Bunyi letupan memenuhi hutan. Selongsong berjatuhan. Kedua pihak saling mundur menjelang malam tiba.
Menurut Jamal, pertempuran yang terjadi pada hari itu sama sekali tidak memakan korban jiwa di pihak GAM. Namun, dia tidak tahu-menahu bagaimana nasib satu pasukan tentara yang menjadi lawan mereka saat itu.
"Saat kontak tembak terjadi, hanya ada dua pilihan. Bunuh atau dibunuh. Perang itu kasar, harus kuat nyali untuk menjadi seorang gerilyawan," ujar pria kelahiran 3 Juni 1982, Desa Gunci, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara.
Setelah pertempuran itu, Jamal dan rekan-rekannya masih bergerilya di dalam hutan. Namun, setelah ada perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005, Jamal memutuskan untuk turun gunung.
Memangku Senapan Sambil Bersekolah
Lelaki yang akrab dipanggil ciep-ciep oleh rekan seperjuangannya ini mulai bersentuhan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 2000. Jiwa keprajuritannya ditempa saat mengikuti latihan di kamp pelatihan militer GAM di Lhok Drien, Daerah I, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara.
Walau tercatat sebagai pasukan Teuntra Nanggroe Aceh (TNA), yang merupakan sayap tempur GAM. Namun, saat itu, Jamal tetap bersekolah. Dia bersekolah di SMA PGRI Krueng Geukueh, Kabupaten Aceh Utara. Ketika ujian naik kelas tiba, Jamal tidak sungkan-sungkan meminta izin kepada komandannya untuk cuti.
"Setiap ujian naik kelas, saya tetap pulang untuk mengikuti ujian sekolah. Dalam situasi darurat militer itu, saya menganggap pendidikan sangat penting untuk kehidupan," ujar Jamal. Dia bahkan berkeinginan kuliah setelah tamat SMA.
Namun, setelah mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) atau sekarang UAN, pada 2002, Jamal mengubur niatnya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dia memilih bergabung dengan pasukan GAM Wilayah IV yang membawahi dua kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, yakni, Peukan Bada dan Lhoknga. Pasukan ini di bawah komando Tengku Muharram.
"Perang itu kejahatan. Terkadang, mau tidak mau, senang tidak senang, harus kita lakukan untuk melengkapi salah satu syarat suatu daerah yang siap berdiri sendiri," demikian Jamal menggambarkan etno-nasionalisme-nya sewaktu dirinya ingin Aceh lepas dari NKRI.
Saat bergerilya di rimba Ujung Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Jamal masih sering berangan-angan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2zXUxSzBagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Mantan Anggota GAM, Pilih Pegang Senjata atau Pena?"
Post a Comment