:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2414193/original/041369700_1542861800-tari_seudati.jpg)
Liputan6.com, Aceh - "Assalamualaikum Lon tamong lam seung, Lon jak bri saleum keu bang syekh teungku…," terdengar aneuk syahi membuka salam.
Sejurus kemudian, para pria itu tampak bergerak serasi memeragakan likok (gerakan) mengikuti nyanyian yang dilantunkan aneuk syahi. Tangan mereka melambai lincah, bergelombang, seirama nada yang terdengar konstan dari jentikan jari-jari mereka.
Para penari itu bergerak membentuk formasi tertentu. Terkadang persegi, melingkar, atau berbaris sejajar. Sementara itu, cahaya kuning dari lampu pijar terlihat diserap oleh latar pangggung yang sarat akan warna-warna rastafarian.
Baju dan celana putih yang mereka kenakan tampak kontras dengan warna kulit beberapa penari yang hitam manis.
"Plakk!" serentak para penari itu memukulkan kedua telapak tangannya ke perut bagian bawah. Berselang dua detik terdengar lagi bunyi yang sama. Meski tidak ada iringan musik, namun, likok (gaya tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta hikayat yang diperdengarkan seolah membius para penonton.
Meski jarum jam di angka tengah malam, namun penonton enggan pulang.
Malam itu, Rabu (21/11/2018), Liputan6.com, berkesempatan menonton gelaran kelompok Seudati dari salah satu sanggar di Aceh Barat yang diundang untuk mengisi acara pernikahan warga setempat.
Sebagai catatan, pagelaran Seudati, sejatinya memang tidak diiringi musik. Sebagai tarian, Seudati hanya menampilkan gerakan rampak, seperti tepukan tangan ke dada dan di perut bagian bawah (pinggul), hentakan kaki ke tanah, serta petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan seorang syekh.
Seudati dimainkan delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang yang disebut syekh, satu orang pembantu syekh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeet wie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Busana yang dikenakan para penari utama Seudati yakni celana dan kaos oblong berlengan panjang, ketat dan berwarna putih.
Penari mengenakan kain songket yang dililitkan di pinggang sebatas paha. Lazimnya, mereka menyelipkan satu bilah rencong di pinggang masing-masing. Yang terakhir, para penari wajib mengenakan tangkulok (ikat kepala) berwarna merah dan sapu tangan.
Gerakan dalam Seudati cenderung dinamis, lincah dan penuh semangat. Namun, terdapat pula beberapa gerakan yang tampak kaku. Gerakan ini menonjolkan keperkasaan dan kegagahan si penari. Tepukan tangan ke dada dan pinggul mengesankan kesombongan sekaligus ksatria.
Kesan ksatria yang ditampilkan para penari Seudati sesuai pula dengan syair kepahlawanan yang sering dinyanyikan dalam tarian itu. Sebagai catatan, syair dalam Seudati banyak bertema epos, atau kisah kepahlawanan dalam menegakkan agama melalui 'jihad fi sabilillah'.
Hal ini pula yang menjadi sebab mengapa pada masa kolonial Belanda, Seudati dilarang ditampilkan. Oleh pihak Belanda, tarian ini dianggap bisa memprovokasi orang Aceh untuk melawan Belanda yang saat itu secara de jure sudah menguasai Aceh.
Karena syair dalam tarian Seudati bisa membangkitkan semangat orang Aceh untuk berperang melawan Belanda, maka Seudati dapat dikategorikan sebagai Tribal War Dance atau Tari Perang.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2DSosQkBagikan Berita Ini
0 Response to "Menyelami Tari Seudati, Menemukan Binaran Cahaya Ilahi"
Post a Comment