Search

Sarat Makna di Balik Perayaan Sekaten

Liputan6.com, Solo - Hiburan rakyat yang berlangsung selama beberapa minggu dan diadakan satu tahun sekali, Sekaten, ternyata sarat akan makna kehidupan.

Berawal dari peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, kegiatan yang disebut dengan upacara hajat keraton ini mulai masuk ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada pertengahan abad ke-17.

Salah satu perwakilan keraton Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger atau yang akrab disapa Gusti Puger mengatakan perayaan Sekaten masuk seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.

"Pertama diadakan pada zaman Kasultanan Demak dan dilaksanakan di halaman Masjid Agung Demak setiap tahunnya," katanya dilansir Antara.

Ia mengatakan pada waktu itu Sekaten merupakan upaya untuk memantapkan syiar agama Islam. Seiring dengan berjalannya waktu, dalam setiap tahunnya makin banyak orang yang datang untuk ikut memperingatinya.

"Akhirnya banyak pedagang yang datang, masyarakat yang datang juga makan di Alun-Alun Demak, sehingga kegiatan ini menjadi identik dengan pasar rakyat," katanya.

Ketika masuk ke Solo, tradisi Sekaten tersebut juga membawa serta gamelan dari Demak yang bernama Nogo Wilogo. Pada perjalanannya, gamelan ini terus dilengkapi oleh keraton-keraton lain.

"Kalau Nogo Wilogo sekarang ada di Kasultanan Cirebon. Sedangkan pada penambahan perangkat gamelan ini yang dari Keraton Mataram bernama Guntur Sari, sedangkan dari Keraton Solo bernama Guntur Madu," katanya.

Ia mengatakan kedua perangkat gamelan tersebut saat ini berada di dua bangsal dalam keraton, yaitu Bangsal Pradangga Utara dan Pradangga Selatan.

Selama acara Sekaten berlangsung, bahkan mulai H-7 dimulainya acara tersebut, gamelan selalu dimainkan secara bergantian.

"Gending bakunya yang dimainkan yaitu Rambu dan Rangkung. Artinya kalau dalam bahasa Arab yaitu Rabbuna yang berarti melakukan perbuatan baik dan meninggalkan yang tidak baik. Meski begitu, agar lebih bervariasi dimainkan juga gending bonangan, jadi tidak ada sinden," katanya.

Puger mengatakan, gamelan tersebut juga mengandung makna sendiri, yaitu harus adanya kekompakan dalam bekerja.

"Kalau ada perselisihan antara penabuh tidak boleh jadi masalah pada saat menabuh gamelan. Mereka harus kompak, ajarannya harus bisa membedakan antara pekerjaan dengan pribadi, jadi jangan dicampur," katanya.

Ia mengatakan, pesan tersebut juga berlaku di semua sektor kehidupan, termasuk dalam pemerintahan adalah urusan negara tidak boleh dicapur dengan pribadi.

Adapun, gamelan tersebut dibunyikan mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB dan hanya berhenti ketika waktu shalat tiba. Selain itu, gamelan tidak dimainkan pada Kamis malam atau malam Jumat.

"Jumat adalah hari yang sakral bagi umat Islam, ini bentuk dari penghormatan tersebut," katanya.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2zetCST

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sarat Makna di Balik Perayaan Sekaten"

Post a Comment

Powered by Blogger.