Search

HEADLINE: Ribuan Orang Tewas dan Kelaparan, Dunia Tak Boleh Abaikan Yaman

Pada 9 Agustus 2018, serangan udara yang dilancarkan koalisi Arab Saudi meledakkan sebuah bus berisi anak-anak sekolah yang baru pulang piknik di wilayah Dahyan, Yaman.

Akibatnya, tragis. Dari 51 korban jiwa, 40 di antaranya adalah anak-anak.

Bekerja sama dengan sejumlah jurnalis di Yaman dan beberapa ahli amunisi, investigasi CNN menemukan bahwa senjata yang menyebabkan puluhan anak tewas dalam serangan udara itu adalah bom MK 82 yang dipandu laser, seberat 500 pon atau 227 kilogram buatan Lockheed Martin, salah satu kontraktor pertahanan utama AS.

Bom tersebut mirip dengan sejata yang memicu kerusakan luar biasa dalam serangan di balai pemakaman di Yaman pada Oktober 2016 di mana 155 orang tewas dan ratusan lainnya terluka. Kala itu, koalisi Arab Saudi menyalahkan 'informasi salah' dan mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Sebelumnya, pada Maret 2016, serangan di sebuah pasar di Yaman dilaporkan menggunakan bom MK 84. Sebanyak 97 orang tewas saat itu.

Pasca-serangan 2016 tersebut, mantan Presiden AS Barack Obama melarang penjualan teknologi militer dengan panduan presisi ke Arab Saudi terkait kekhawatiran soal isu hak asasi manusia.

Pemakaman massal yang disiapkan untuk para korban serangan udara di Yaman (AFP)

Larangan tersebut dicabut pemerintahan Donald Trump pada Maret 2017 oleh Menlu saat itu, Rex Tillerson.

Selain meledakkan bus berisi anak-anak, bom-bom made in America juga dipakai untuk menghancurkan pabrik, jalan, jembatan, rumah sakit, sumur, pemakaman, pernikahan, pertemuan yang hadirinnya semua perempuan.

Pad November 2018, PBB dilaporkan telah mendokumentasikan sekitar 18.000 kematian warga sipil dan kasus cedera yang disebabkan oleh pertempuran di Yaman. Hampir 11.000 di antaranya jatuh dari serangan udara saja, demikian seperti dikutip dari The New York Times, Kamis (27/12/2018).

Dalam kampanye di Yaman, Arab Saudi mendapat bantuan dari sejumlah negara koalisi, seperti Uni Emirat Arab, Bahrain dan Kuwait, serta negara-negara Afrika terdekat, seperti Sudan dan Mesir.

Tetapi, sumber dukungan terpentingnya adalah sekutu dekatnya: Amerika Serikat.

"Tanpa dukungan AS, tak mungkin Saudi melanjutkan bantuannya terhadap pemerintah Yaman untuk melawan Houthi hingga hampir tiga tahun lamanya," kata Zuhairi Misrawi, analis Timur Tengah, kepada Liputan6.com, Kamis (27/12/2018).

Pada 2015, AS mengirim kapal induk, kapal penjelajah rudal berpemandu dan tujuh kapal perang lainnya untuk membantu Saudi melakukan blokade terhadap kota pelabuhan vital Hodeidah yang diperebutkan dua kubu.

Ketika Saudi mulai menjalankan serangan mendadak ke Yaman, Komando Sentral Amerika Serikat menerbangkan Stratotanker untuk misi pengisian bahan bakar setiap hari, sampai bulan November 2018.

Itu memungkinkan jet-jet Saudi bertahan lebih lama di udara untuk mengincar target-target serangan.

Mungkin, bantuan yang paling penting dari Negeri Paman Sam berupa skema penjualan teknologi tinggi bernilai miliaran dolar kepada Saudi.

"Arab Saudi ingin sekali mendikte politik di Yaman, agar bersih dari Houthi yang didukung Iran. AS juga punya kepentingan yang sama untuk menekan pengaruh Iran di Timur Tengah," tambah Zuhairi.

AS punya sejarah panjang menjual senjata ke Saudi sejak era Presiden Bill Clinton, Presiden George W Bush, dan Presiden Barack Obama.

Bush misalnya, berdalih bahwa penjualan senjata ke Saudi adalah upaya untuk 'menyeimbangkan' geopolitik di Timur Tengah setelah invasi Irak tahun 2003, yang menggulingkan pemerintahan Sunni dan mengizinkan pemerintah Syiah untuk menggantikannya.

Bush secara tidak sengaja memberdayakan Iran, dan dia pikir menjual senjata ke Arab Saudi dapat menangkal pengaruh Teheran.

Itu berlanjut hingga era Obama. Namun pada 2016 --satu tahun setelah Saudi melancarkan serangan udara di Yaman-- jelas bagi pemerintahan AS saat itu bahwa Riyadh tidak menggunakan senjata yang dibelinya untuk meminimalkan korban sipil.

Jadi, sebelum lengser, Obama menangguhkan penjualan bom pintar ke Saudi.

Namun, Presiden Donald Trump segera membalikkan penangguhan tersebut. Dalam perjalanan luar negeri pertamanya sebagai presiden -- yakni ke Arab Saudi-- ia mengumumkan akan melanjutkan dan memperluas penjualan senjata ke Negeri Petrodollar. Pengaruh Iran dan penciptaan lapangan kerja di Amerika jadi dalih.

Sempat ada upaya di Kongres AS untuk membatalkan rencana Trump pada 2017 lalu. Senator Rand Paul -- wakil Republik dari Kentucky, yang ikut mensponsori sebuah RUU untuk menghentikan penjualan senjata ke Saudi -- terang-terangan menentang.

Bersama Senator Chris Murphy, wakil Demokrat dari Connecticut, ia berpidato di Senat, membawa foto seorang anak Yaman yang kelaparan.

"Sungguh mengherankan apa yang terjadi di sana (Yaman)," kata Paul. "Itu memang dilakukan tanpa seizin Anda, namun dengan senjata Anda." Kata-kata itu ia tujukan untuk Donald Trump.

Resolusi yang diajukan kalah, 47 melawan 53. Sebagian besar politikus Partai Republik menentang Paul dan mendukung presiden.

Tapi, itu tahun lalu, ketika Senat AS yang didominasi Republik masih dibutakan oleh janji bahwa penjualan senjata akan membuka lapangan pekerjaan besar di dalam negeri. Namun, pada penghujung 2018, semua berubah.

Nasib tragis Jamal Khashoggi, jurnalis yang sering mengkritik rezim Saudi dan pemimpin de facto-nya, Mohammed bin Salman, membuat sejumlah politisi menuntut AS mengevaluasi hubungannya dengan Riyadh.

Pada 28 November, Senat AS (yang masih didominasi kuat oleh Republik, partai pengusung Trump), meloloskan resolusi untuk memangkas peran Amerika di Yaman. House of Representatives atau Kongres yang didominasi Demokrat diperkirakan akan mendukungnya.

Kendati demikian, resolusi tersebut dianggap belum menyentuh hal yang signifikan, seperti penghentian total penjualan senjata AS ke Arab Saudi atau Uni Emirat Arab yang digunakan dalam perang di Yaman.

Gedung Putih telah mengancam akan memveto resolusi (yang akan menjadi rancangan undang-undang) ketika itu sampai di Kongres AS. Donald Trump bersikukuh mempertahankan hubungan dekatnya dengan Arab Saudi.

Menurut Zuhairi Misrawi, besar kemungkinan bahwa AS akan memangkas atau menghentikan total dukungannya terhadap Saudi di Perang Yaman --dipicu oleh faktor pembunuhan Jamal Khashoggi dan desakan komunitas internasional yang ingin menghentikan krisis kemanusiaan di sana.

"Kalau itu terjadi," kata Zuhairi, "kemungkinannya ada dua. Perdamaian yang diusulkan oleh PBB akan disepakati atau, Riyadh tetap melanjutkan perang tanpa dukungan AS dengan kemungkinan Saudi akan kalah."

"Karena dukungan senjata yang diberikan AS ke Saudi untuk Yaman ini besar sekali," tambahnya.

Dari 2010 hingga 2017, menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) yang dikutip dari The New York Times, Amerika Serikat mengirim 30 pesawat jet F-15 dalam konfigurasi F-15SA yang paling canggih, serta 84 helikopter tempur, 110 rudal jelajah udara-ke-permukaan dan hampir 20.000 bom berpemandu untuk Arab Saudi -- termasuk 11.320 Paveways.

Secercah Harap

Mayjen Patrick Cammaert dari Belanda (tengah) yang memimpin tim advance PBB disambut saat tiba di Bandara Sana’a, Yaman, 22 Desember 2018. (AP File)

Dialog damai antara kelompok pemberontak Houthi dengan pemerintah Yaman, yang digelar di Swedia pada awal bulan ini, telah menghasilkan kemajuan positif pada beberapa isu kunci, kata diplomat PBB pada Sabtu 8 Desember 2018.

Kemajuan itu meliputi prospek pembukaan kembali bandara di ibu kota Yaman --Sanaa-- yang selama ini diblokade, pertukaran tahanan, dan beberapa kesepakatan lain yang bisa disetujui oleh kedua belah pihak, demikian seperti dikutip dari The Associated Press (AP).

Seorang pejabat PBB yang berbicara dengan syarat anonimitas pada hari Minggu 9 Desember, dalam sela dialog damai Houthi-Yaman di Rimbo, Swedia mengatakan, pemerintah Yaman dan Houthi akan bertemu lagi pada awal 2019.

Kabar terbaru menyebut, sebuah tim PBB yang bertugas memantau gencatan senjata dalam perang Yaman, bertemu di kota zona merah di Hodeidah yang diperebutkan, pada Rabu 26 Desember 2018.

Komite berkumpul untuk membicarakan tentang implementasi gencatan senjata dan penarikan pasukan yang direncanakan.

Menurut Zuhairi Misrawi, peran PBB dalam membuka dialog damai antara Houthi dengan pemerintahan Presiden Yaman Mansur Hadi "berpotensi membuka jalan untuk masuknya bantuan kemanusiaan terhadap warga sipil yang terdampak di Yaman."

"Tapi untuk urusan perdamaian politik, konsolidasi murni ada di tangan Houthi dan pemerintahan Presiden Hadi," kata Zuhairi.

"Dalam proses itu tidak boleh ada campur tangan Saudi, Iran, apalagi AS. Sebuah proses yang netral non-partisan diperlukan untuk membangun kembali Yaman yang hancur dilanda perang. Kita tunggu saja kelanjutannya."

Let's block ads! (Why?)

from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2BHHbL1

Bagikan Berita Ini

0 Response to "HEADLINE: Ribuan Orang Tewas dan Kelaparan, Dunia Tak Boleh Abaikan Yaman"

Post a Comment

Powered by Blogger.