Liputan6.com, Jakarta - Setidak 430 orang meninggal dunia dalam tragedi tsunami Selat Sunda yang dipicu aktivitas Gunung Anak Krakatau. Gelombang mematikan tiba-tiba muncul tanpa pertanda, menghantam wilayah pesisir di Banten dan Lampung.
Insiden mengerikan tersebut mengingatkan kembali pada apa yang menimpa 'induknya' pada Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi. Kala itu, Gunung Krakatau meledak dahsyat.
Empat ledakan dahsyat yang terjadi membikin tuli orang-orang yang berada relatif dekat dengan Krakatau. Gelegarnya pun terdengar hingga Perth, Australia yang jaraknya 4.500 kilometer.
Namun, mayoritas korban jiwa, yang jumlahnya 36 ribu, jatuh akibat tsunami. Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, muncul dinding air setinggi 120 kaki atau 36,5 meter, yang dipicu melesaknya Krakatau dan naiknya dasar laut.
Tak hanya di Indonesia, efek Krakatau juga dirasakan di sejumlah negara. Bahkan, diyakini menginspirasi mahakarya Edvard Munch, pelukis asal Norwegia.
Lukisan yang diberi nama Der Schrei der Natur atau Jeritan alam menggambarkan sosok manusia, berdiri di tengah jembatan, sedang menempelkan kedua tangan di pipi. Wajahnya mengekspresikan kekhawatiran. Kengerian.
Sementara, cakrawala merah darah dan daratan yang dipijaknya berwarna gelap.
"Saya sedang berjalan di sebuah jalan kecil dengan dua orang teman -- matahari sedang tenggelam --mendadak langit berubah menjadi merah darah. Saya berhenti, merasa lelah, dan bersandar di pagar, di atas fjord dan kota yang biru kehitaman, tampak darah dan lidah-lidah api," demikian puisi yang ditulis Much di bingkai karyanya itu, mendeskripsikan arti lukisannya.
"Teman-teman berjalan terus, dan saya berdiri di sana, gemetar, dan diliputi rasa cemas. Dan saya merasakan jeritan yang tidak henti-hentinya melintas di alam raya."
Mengapa langit di lukisan itu merah darah? Seperti dikutip dari CNN, para astronom punya prediksi kuat soal itu.
Donald Olson, fisikawan astronomi dari Texas State University menyebutkan, hal tersebut diduga kuat berkaitan dengan fenomena alam sebelumnya, letusan dahsyat Gunung Krakatau di Indonesia pada 1883 -- yang memuntahkan material vulkanik ke angkasa.
"Yang membuat senja terlihat merah di Eropa dari November 1883 hingga Februari 1884," kata dia.
Sang ilmuwan juga melakukan napak tilas ke titik yang digambarkan sang maestro dalam lukisannya. Untuk mengetahui sudut pandang Much saat melukis 'The Scream'.
"Dengan itu kami mengetahui bahwa Munch sedang menatap ke barat daya -- persis ke arah di mana senja terlihat merah akibat letusan Krakatau pada musim dingin 1883-1884," kata dia. Saat melukis, pikirannya mungkin melayang ke masa itu.
Bisa jadi, lukisan yang suram juga menggambarkan kehidupan pelukisnya di masa sebelumnya. Edvard Munch kehilangan ibunya pada 1868, lalu saudara perempuannya pada 1877.
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2QNGBpnBagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Lukisan The Scream dan Horor Letusan Gunung Krakatau 1883"
Post a Comment