Hal yang paling disesalkan ayah Bonol karena tidak siap siaga setelah gempa. Jika saja dia menuruti 'nanga-nanga' yang pernah dituturkan oleh nenek Bonol, bisa jadi, barang-barang berharga masih bisa diselamatkan.
"Tapi, saat itu, ayah juga sudah curiga, ketika ada yang bilang, orang-orang memungut ikan di laut. Tapi, terlambat sadar. Sadar waktu air laut sudah menyapu daratan," kata Bonol.
Ketika itu, bala mengambil korban hingga ratusan ribu jiwa. Gelombang raksasa terjadi setelah gempa bumi di bawah laut, sekitar 100 kilometer sebelah barat pantai Sumatera, pukul 07.59 waktu setempat.
Gempa bumi berlangsung selama 10 menit. Menurut berbagai perhitungan, kekuatan gempa saat itu mencapai 9,1 sampai 9,3 pada skala Richter, dan merupakan gempa terbesar kedua dalam 100 tahun terakhir setelah gempa bumi di Chili berkekuatan 9,5 skala Richter yang terjadi pada 1960.
Aceh adalah salah satu wilayah terdampak paling parah. Korban jiwa saat itu mencapai 130.000 jiwa. Angka ini tidak termasuk jumlah korban di negara lain yang juga terdampak, seperti Sri Lanka, India, dan Thailand.
Namun, di balik itu semua, Pulau Simeulue adalah anomali. Pulau yang berada kurang lebih 150 kilometer dari lepas pantai barat Aceh ini, memiliki angka korban meninggal yang sangat sedikit, dibanding wilayah lainnya.
Dari sekitar 78.000 penduduk di kepulauan itu, korban meninggal tidak sampai sepuluh orang. Para korban pun, disebut-sebut meninggal bukan karena tidak bisa menyelamatkan diri dari gulungan tsunami, akan tetapi faktor sakit dan tertimpa runtuhan gempa.
Minimnya jumlah korban jiwa dinilai tidak logis. Ini mengingat, Pulau Simeulue terletak hanya sekitar 60 kilometer dari episentrum gempa berkekuatan 9,1 skala Richter tersebut.
Usut punya usut, masyarakat Simeulue terselamatkan oleh nyanyian yang sering disenandungkan oleh orangtua terdahulu. Masyarakat di Pulau Simeulue tidak mengenal istilah 'tsunami' tapi 'smong', yang sering disebut di dalam 'nanga-nanga'.
Salah satu bunyi 'nanga-nanga' tersebut, yakni:
Kilek, suluh-suluhmo, Lai’ (bubuk) kedang-kedangmo, Linon uak-uakmu, Smong dumek-dumekmo.
Artinya, 'kilat sebagai suluh (penerang) mu. Petir jadi gendang-gendangmu. Gempa jadi ayunanmu. Tsunami jadi permandianmu'.
Cerita tutur 'smong' ini menjadi kearifan lokal. Diteruskan dari generasi ke generasi, jauh, sebelum tragedi gempa dan tsunami di Aceh terjadi.
'Smong' terjadi pada 1907. Bencana tersebut terjadi pada Januari pukul 14.00 waktu setempat, berpusat di Salur, Mukim Bakudo Batu, Kecamatan Teupah Barat, Simeulue.
Karena itu, tak lama setelah gempa terjadi masyarakat di kepulauan Simeulue bergegas ke dataran tinggi. Mereka sudah memprediksikan akan terjadi gelombang raksasa yang dikenal sebagai 'smong'.
Atas hal ini, United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) memberi penghargaan UN Sasakawa Award kepada orang-orang Simeulue pada 12 Oktober 2005. Penghargaan itu diberikan di Bangkok, Thailand.
Selain itu, kosakata smong ikut memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terakhir atau Edisi V. Dari 127.036 lema, terdapat 250 lema yang diserap dari bahasa Aceh, termasuk di dalamnya, kosakata 'smong'.
"Tapi, yang paling disayangkan, itu hanya menjadi keping budaya, hanya budayawan yang tahu, mayoritas orangtua saat ini mana tahu smong, maksudku dengan aspek adatnya, tahunya ya, habis gempa hati-hati tsunami. Atau lihat apa info BMKG. Sonar alami tidak lagi," ujar pria yang lahir pada di pulau yang punya julukan 'Simeulue Ate Fulawan' atau Simeulue Berhati Emas.
Simak video pilihan berikut ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nyanyian 'Tsunami' Milik Emak dari Pulau Berhati Emas di Aceh"
Post a Comment