Search

Pemilu Berpijak Ajaran Roro Anteng dan Joko Seger

Ada sepuluh filosofi yang diadopsi oleh KPU Kabupaten Probolinggo dari masyarakat Suku Tengger. Sepuluh filosofi tersebut, menjadi modal awal bagi penyelenggara pemilu, termasuk peserta dan masyarakat, supaya pesta demokrasi itu berjalan lancar.

Filosofi pertama adalah, "Tenggering Budi Luhur". Ungkapan tersebut bermakna bahwa KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu harus berintegritas dan profesional, dalam menjalankan tugas yang bersifat langsung umum bebas dan rahasia (Luber), jujur dan adil (Jurdil) itu.

Kemudian, "Walandhit", yang bermakna, sebagai lembaga terhormat, KPU harus bisa melayani seluruh unsur masyarakat secara independen, dan siap melayani masyarakat dengan penuh tanggung jawab didasari dengan rasa ikhlas dan pengabdian.

"Tengger", memiliki makna bahwa dalam menjalankan tugas, KPU siap menegakkan keadilan demi tercapainya cita-cita bangsa untuk menciptakan pemilih yang cerdas, dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak bertindak kecuali sesuai undang-undang dan peraturan yang telah ditetapkan.

"Sesanti Titi Luri", memiliki makna untuk mencerdaskan masyarakat melalui sosialisasi dan pendidikan pemilih yang berkelanjutan, dan terus-menerus. Hal itu dilakukan agar terbentuk kepribadian bagi para pemilih, yang sadar akan pentingnya pemilu sebagai wahana demokrasi dalam menentukan pemimpin tanpa paksaan dan tekanan dari pihak manapun.

Salah satu filosofi yang cukup penting lainnya adalah, "Disatru". Kata-kata tersebut bermakna bahwa politik uang, dan bentuk pemberian lainnya adalah sesuatu yang tidak sah, dan tidak boleh dilakukan oleh semua pihak, baik sebagai praktisi politik, maupun konstituen. Jika tetap melakukan politik uang, maka akan berdampak hukum bagi siapapun, termasuk bagi yang melakukan penyelenggaraan dalam pemilu, serta akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat.

"Hilahila", yakni, lima prinsip KPU dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara. Pertama, "prasaja" yang berarti jujur apa adanya, "prayoga", bersikap bijaksana, dan "pranata", yakni patuh pada peraturan dan perundang-undangan. Selain itu, "prasetya" yang berarti setia kepada Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan "prayitna" yang memiliki arti berintegritas dan profesional.

Filosofi ketujuh, "Aja Jowal-Jawil". Aja Jowal-Jawil memiliki makna untuk bersikap toleran terhadap orang lain yang memiliki paham politik berbeda dan tidak memaksakan kehendak. Hal itu untuk menjaga perdamaian, kerukunan, dan ketertiban lingkungan sehingga akan tercipta suasana yang nyaman, dan tentram dalam pelaksanaan pemilu.

Ajaran lainnya adalah "Nyadhang", bermakna semua pihak harus memiliki sikap "nyadhang" yaitu sikap tanggung jawab dan patuh terhadap prinsip-prinsip yang tertulis, yaitu undang-undang, dan peraturan yang berlaku, maupun prinsip-prinsip yang tidak tertulis berupa hukum agama, hukum adat, dan lainnya.

"Tat Twam Asi serta Mikul Dhuwur Mendhem Jero". Filosofi ini bermakna bahwa peserta pemilu harus memiliki sikap welas asih dan menunaikan janji-janji politik pada saat melakukan kampanye pada masyarakat.

Peserta Pemilu tidak boleh ingkar janji terhadap janji politik yang sudah diucapkan, dimana hal tersebut untuk menumbuhkembangkan kualitas masyarakat dalam membangun daerah yang telah memberikan mandat kepada perserta pemilu tersebut, sebagai pimpinan eksekutif, maupun legislatif atau wakil rakyat.

Filosofi terakhir adalah, "Unan Unan", bermakna, gelaran pesta demokrasi yang digelar lima tahun sekali untuk memilih pimpinan (eksekutif) dan memilih wakil rakyat (legislatif). Pemilu adalah wahana bagi masyarakat untuk menentukan pilihan dan siapa yang akan menjadi pemimpin serta wakil rakyat.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2Wqa2MH

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Pemilu Berpijak Ajaran Roro Anteng dan Joko Seger"

Post a Comment

Powered by Blogger.