Liputan6.com, Jambi - Sepintas tak ada yang istimewa dengan bangunan gedung Tempoa Art Galeri di kawasan Jelutung, Kota Jambi, itu. Namun siapa yang sangka, di dalamnya terdapat banyak artefak bersejarah yang berkaitan erat dengan industri bioskop di kawasan itu.
Alat-alat proyektor tua pemutar film beserta perlengkapannya masih terawat dan berjejer rapi. Terlihat juga ratusan kursi anyaman plastik penonton bioskop, di sekelilingnya lengkap panjangan baliho dan poster film-film lawas, mulai dari genre horor, komedi, aksi, hingga film dewasa.
Tak hanya itu, di museum ini juga masih tersimpan dengan apik, tempat pembelian tiket bioskop, baju seragam pegawai, hingga tiket bioskop seharga Rp600, bisa pengunjung lihat saat berada di museum ini.
"Ini ada gerobak juga, gerobak ini dulunya digunain untuk arak-arakan atau semacam pengumunan gitu kalau ada film baru yang mau ditayangkan di bioskop," kata Yusi Anggraini, pemandu museum kepada Liputan6.com, Sabtu (12/10/2019).
Museum Bioskop Jambi itu mulai diresmikan dan dibuka untuk umum pada akhir 2018 lalu. Pendirian museum ini kata Yusi, diprakarsai oleh seorang warga Jambi keturunan Tioghoa, Harkopo Lie. Artefak-artefak industri bioskop itu merupakan tinggalan milik keluarga Harkopo Lie sendiri yang merupakan pengusaha bioskop di Jambi pada masa itu.
"Koleksinya banyak ada juga kaset kaset film lawas yang disewakan saat itu. Dan untuk proyektor tua di sini ada enam, kemudian untuk baliho film-film ada 1.180 unit. Sebagian besar baliho ini dilukis sendiri oleh Pak Harkopo Lie," kata Yusi.
Di Museum Bioskop satu-satunya di Provinsi Jambi itu, buka setiap hari mulai pukul 08.00-17.00 WIB. Pengunjung yang ingin melihat beragam koleksi museum hanya cukup membeli karcis seharga Rp10 ribu untuk umum dan Rp5 ribu untuk kalangan pelajar dan mahasiswa.
"Untuk yang datang itu kebanyakan orang dari luar Jambi yang ingin bernostalgia dengan bioskop jadul, dari lokal Jambi masih jarang. Kami juga ada rencana mau bikin pemutaran film-film lawasa di sini," ujar Yusi.
Gagasan Museum Bioskop
Keberadaan Museum Bioskop erat kaitannya dengan keluarga Harkopo Lie, yang masih menyimpan beragam benda industri bioskop di Jambi sejak 1970-an. Sampai 50 tahun kemudian, benda-benda usaha bioskop itu sudah muali ditinggalkan dan menjadi koleksi museum.
Bekerja sama dengan Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta (FSR-IKJ), pengembangan museum ini menjadi salah satu model dalam memberikan wawasan yang menginspirasi masyarakat dari berbagai aspek, seperti kesenian dan kebudayaan.
"Pokok-pokok perjalanan penting dari budaya yang terkait dengan bioskop ada di Museum Bioskop ini,"' kata Yusi.
Masyarakat Jambi perlu bersyukur, sebab tak banyak daerah yang masih menyimpan dengan apik benda-benda industri bioskop di masa lampau.
"Museum Bioskop ini cukup mengembalikan kenangan masa muda saya dulu yang suka nonton bioskop," kata Handoko (60), salah seorang pengunjung.
Masa Kejayaan Bioskop di Jambi
Industri bioskop di Jambi pernah mencapai titik kejayaan pada era 70-90an, saat era keluarga Lie. Usaha jaringan bioskop perantauan Tiongkok itu mulai berkembang di Jambi pada 1969. Di saat yang sama, pada saat itu, Jambi tidak ada tempat hiburan.
Keluarga Lie berpikir, kebetulan di Jambi saat itu pula terdapat gedung bioskop yang terbengkalai. Gedung tersebut, diambil alih Arwin Lie, anak pertama keluarga Lie, kemudian diperbaiki dan dibuka kembali menjadi bioskop yang diberi nama Mega.
Setelah usaha Bioskop Mega yang pertama itu berhasil, keluarga Lie mulai mengepakkan sayapnya dengan membuka bioskop-bioskop lainnya di Kota Jambi. Seperti bioskop Duta, Murni dan Ria pada 1970-1980, lalu disusul pendirian bioskop Presiden, Sumatera, Mayang dan Sitimang.
Tak hanya di Kota Jambi, jaringan bioskop keluarga Lie, juga merambah ke daerah seperti di Tembesi, Muaro Tebo, Muara Bungo, Rantau Panjang, Bangko, Sarolangun, Kerinci, Sungaipenuh, Nipahpanjang, Sabak dan Kuala Tungkal.
Selain membuka usaha bioskop permanen, keluarga Lie juga menjalankan bioskop leliling hingga pelosok daerah dengan menggunakan lapangan terbuka. Peralatan dan perlengkapan bioskop "layar tancap" dikemas dengan baik sehingga siap untuk menampilkan film-film di daerah.
Bioskop pada masa itu di Jambi menjadi tempat hiburan yang ramai dikunjungi masyarakat. Berdasarkan Kantor Statistik, sekarang Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi periode 1981-1987 mencatat tingkat kunjungan bioskop.
Pada tahun 1981 jumlah kunjungan mencapai (1.079.532 kunjungan di 12 bioskop), 1982 (1.226.232 pengunjung di 15 bioskop), 1983 (1.113.610 pengunjung di 16 bioskop), 1984 (1.114.753 kunjungan di 16 bioskop) 1985 (898.116 di 14 bioskop), 1986 (802.053 kunjungan di 13 bioskop) dan 1987 (827.776 kunjungan di 14 bioskop).
Memasuki awal 1990, bioskop-bioskop di daerah mulai tutup karena jumlah penonton yang terus berkurang. Hal itu, lantaran bioskop kalah saing dengan video kaset yang beredar pada saat itu. Setelah bioskop-bioskop yang dimiliki keluarga Lie di daerah tutup, bioskop di Kota Jambi pun satu per satu rontok.
Beruntung, benda-benda peninggalan keluarga Lie masih tersimpan dengan apik di dalam sebuah museum.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Menko Polhukam Wiranto, seorang Ajudan, dan Kapolsek dirawat di ruang IGB RSUD Berkah, usai insiden penusukan yang menimpanya di Pandeglang Banten. Rencananya Wiranto dibawa ke RSPAD .
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menapak Tilas Kejayaan Industri Gambar Bergerak di Jambi"
Post a Comment