Setiap bulan, Alejandro Nunez mengirimkan uang sebesar 500 juta bolivar untuk keluarganya di Veenzuela.
Pria yang tinggal di Burlington, Amerika Serikat itu bukan miliarder. Uang yang ia kirimkan nyatanya hanya senilai US$ 100 atau Rp 1,4 juta.
Akibat hiperinflasi di Venezuela, harga-harga di sana terasa 'ajaib'. Misalnya seekor ayam seberat 2,4 kilogram dijual dengan harga 14 juta bolivar. Padahal, jika dikonversikan ke dalam rupiah, uang itu setara dengan Rp 32.000. (1 bolivar = 0.059).
Sementara, harga sabun meroket sampai 3,5 juta bolivar atau setara Rp 205 ribu, pun dengan harga wortel yang sempat menyentuh 300 ribu bolivar (Rp 176 ribu) per kilogram. Warga harus membawa segepok uang untuk berbelanja, meski hanya untuk segulung tisu toilet yang harganya mencapai 2,6 juta bolivar.
Atau dengan kata lain, segulung tisu toilet di Venezuela lebih berharga dari setumpuk uang.
"Orangtua saya ingin tetap tinggal di Venezuela, namun mereka dalam posisi sulit. Jadi, mereka sedang mempertimbangkan untuk menjual rumah yang sudah ditinggali selama 30 tahun dan pindah ke negara lain," kata Nunez, seperti dikutip dari Boston Herald.
Mulai Senin 20 Agustus 2018, Venezuela memberlakukan redenominasi, dengan memangkas lima nol dari setiap satuan mata uang. Duit kiriman Nunez kini bernilai sekitar 5.000 bolivar.
Langkah tersebut diambil pemerintahan yang dipimpin Presiden Nicolas Maduro untuk memperbaiki perekonomian negara, selain lewat peningkatan upah minimum dan menaikkan pajak.
"Kami punya formula yang sempurna untuk menjamin kehidupan yang yang baik bagi rakyat Venezuela," kata Maduro pada Rabu 22 Agustus 2018.
Namun, Gerald Epstein, pengajar ekonomi dari University of Massachusetts Amherst tak sepakat dengan klaim pemerintah Venezuela. Dia mengatakan, langkah-langkah tersebut sama sekali tak membantu perekonomian negara itu.
"Masalah fundamental adalah fakta bahwa ada kekurangan barang yang sangat massif di sana," kata Epstein. Ia memprediksi, bolivar versi anyar akan mengalami devaluasi seperti halnya yang lawas.
Sejumlah ahli bahkan memperkirakan, inflasi di Venezuela akan mencapai 1 juta persen.
Upaya Maduro untuk menaikkan upah minimum 3.000 persen justru diperkirakan akan menghancurkan pemilik bisnis dan memperburuk inflasi. Ibaratnya, pekerja dengan bayaran terendah di Amerika Serikat kemudian digaji lebih dari 200 dolar per jam.
Apalagi, mata uang bolivar baru, yang diklaim 'berdaulat', didasarkan pada mata uang kripto yang disebut 'petro' -- yang nilainya konon didasarkan pada nilai satu barel minyak, meskipun para pejabat pemerintah Venezuela tak menjelaskan penjelasan detil soal cara kerjanya alias masih samar-samar.
Maduro dengan bangga mengklaim bahwa kebijakan moneter barunya dibuat tanpa masukan dari para ahli.
Maduro juga mengklaim, dia dan negaranya adalah korban 'perang ekonomi' yang dilancarkan Amerika Serikat, yang menurutnya bertujuan untuk menyabotase pemerintahannya lewat pemberlakuan sanksi.
Mantan sopir bus tersebut mengatakan bahwa penggunaan petro akan menghapuskan 'tirani' dolar dan mengarah pada kebangkitan ekonomi di Venezuela -- negara anggota OPEC sekaligus di mana cadangan minyak mentah terbesar dunia berada.
Produk domestik bruto (PDB) Venezuela telah turun sekitar 45 persen sejak Maduro menjabat pada April 2013, demikian menurut Dana Moneter Internasional (IMF).
"Tidak ada pekerjaan di sini, saya tidak dapat menghidupi keluarga, membeli susu dan popok untuk bayi kami. Kami tak punya pilihan lain selain pergi," kata Alejandro Blanco, penduduk Caracas kepada Al Jazeera.
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2NdO8rvBagikan Berita Ini
0 Response to "HEADLINE: Jadi PSK demi Bisa Makan, Kutukan 'Iblis' Minyak Menimpa Venezuela?"
Post a Comment