Jika menilik semangat dari resolusi jihad tersebut, maka selayaknya Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober bukan hanya milik Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, melainkan milik Indonesia.
Hal ini sesuai pernyataan Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf dalam Seminar memeringati Hari Santri Nasional di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Menurut Yahya Staquf, santri bukan hanya trademark NU atau Muhammadiyah, tetapi santri selalu mewarnai kehidupan masyarakat Nusantara. Selain itu, santri itu bukan milik NU saja, tapi milik semua kalangan, golongan yang cinta Tanah Air dan ke-Indonesiaan.
Memang selama ini pondok pesantren banyak dikelola NU, tapi bukan berarti santrinya hanya milik NU. Tradisi santri ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Santri adalah tradisi intelektual Nusantara yang tumbuh selama berabad-abad sejak zaman pra-Islam.
Sebelum ada pendidikan model barat yang diadopsi saat ini, pendidikan Nusantara terjadi di padepokan-padepokan dengan resi-resi. Para resi tinggal dengan murid-muridnya, dan sebelumnya bernama cantrik.
Oleh karena itu, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI (Wantimpres) ini, peringatan Hari Santri Nasional menjadi bukti dukungan keberadaan pondok pesantren melalui regulasi dan kebijakan. Tujuannya menghidupkan kembali tradisi intelektual Nusantara, melalui pondok pesantren bisa semakin meningkat kapasitasnya.
Selain itu, Yahya juga meyakini Indonesia memiliki ketahanan sosial budaya luar biasa untuk mengatasi antagonisme yang merebak melalui media sosial. Banyak krisis yang telah dilalui sejak zaman Majapahit hingga saat ini, tapi bisa diselesaikan dengan baik.
Untuk itu, ia berharap Hari Santri bisa diperingati siapapun yang merawat tradisi intelektual Nusantara pada dirinya, termasuk Muhammadiyah. Unsur utama tradisi ini adalah dinamika kecendekiaan.
Ciri dinamika kecendekiaan ini adalah gagasan-gagasan intelektual besar yang membentuk peradaban Nusantara ini, contohnya adalah identitas kerajaan Majapahit sebagai Bhinneka Tunggal Ika yang tidak menggunakan agama sebagai identitas kerajaannya.
Santri Masa Kini Peristiwa 10 November 1945 yang dikenang sebagai Hari Pahlawan menjadi peristiwa heroik, di mana santri turut andil di dalamnya mengaplikasikan Resolusi Jihad untuk mempertahankan NKRI yang dimotori oleh Bung Tomo dengan pidato menggelegarnya.
Tidak hanya itu, dalam proses kemerdekaan dan pembentukan NKRI peran santri juga sangat sangat besar. Bukan hanya dengan angkat senjata, tetapi juga dalam perundingan-perundingan dan proses dialektika.
Lewat para ulama melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), lahirlah Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologinya dan NKRI sebagai bentuk negaranya.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan dari santri untuk NKRI karena peran santri tidak hanya hadir sebagai insan yang bergelut di bidang spritualitas tetapi juga hadir sebagai insan patriotis membentuk, mempertahankan dan menjaga NKRI.
Dengan adanya Hari Santri yang diperingati setiap tahunnya pada 22 Oktober menjadi penegasan dan pengakuan negara bahwa kaum santri memiliki sumbangsih besar untuk negeri. Pada saat yang sama Hari Santri juga merupakan momentum untuk mengingat sejarah peran ulama dan santri, sejalan dengan jargon Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama).
Dalam konteks kekinian bagaimana peran santri di tengah tantangan yang begitu kompleks di era globalisasi yang penuh dengan kompetisi. Belum lagi kemajuan teknologi dan arus informasi yang jika tidak siap menghadapinya maka akan tergilas oleh zaman.
Maka santri saat ini mesti menjadi anak zaman yang bisa menghadapi zamannya. Jika dulu di zaman penjajahan santri mampu tampil heroik, maka sejatinya di zaman sekarang pun santri mesti mampu tampil heroik pula dalam menghadapi tantangan era globalisasi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menilik Resolusi Jihad Hadratussyekh KH Hasyim Asyari di Hari Santri"
Post a Comment