Perjalanan kasus dugaan korupsi pengadaan Alkes di Kabupaten Pangkep sempat dikabarkan mandek dan kemudian dihentikan menyusul seorang istri tersangka diam-diam mengembalikan uang yang disinyalir sebagai kerugian negara kepada penyidik Kejati Sulselbar senilai Rp 5,9 miliar.
Pengembalian uang yang diduga merupakan kerugian negara tersebut, kemudian berimbas dengan ditangguhkannya upaya penahanan terhadap tiga orang tersangka yang kemudian kasusnya menghilang dan akhirnya resmi dinyatakan dihentikan alias SP3.
"Kasusnya sudah dihentikan (SP3) sudah lama itu," singkat Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Salahuddin diruangan kerjanya, Rabu (24/10/2018).
Di masa kepemimpinan Hidayatullah selaku Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel, kasus dugaan korupsi penggelembungan pengadaan alat kesehatan (Alkes) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pangkep, tak hanya dinyatakan sebagai kejahatan korupsi biasa. Melainkan kejahatan kemanusian yang luar biasa.
Salah satunya, kata Hidayatullah, dalam pengerjaan proyek ditemukan perbuatan pemalsuan alat kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan masyarakat.
"Saya katakan ini kejahatan yang sangat luar biasa. Luar biasa jahatnya orang yang terlibat dalam kasus ini," tegas Hidayatullah, Minggu, 19 Februari 2017.
Ia mengatakan, kejahatan para pihak yang terlibat dalam manipulasi dan pemalsuan alat kesehatan dapat membuat nyawa masyarakat terancam akibat salah diagnosa alat kesehatan abal-abal yang diadakan tersebut.
Di wilayah Kepulauan Pangkep sendiri masih terdapat masyarakat bawah yang notabene awam dalam ilmu kesehatan dan mudah mempercayai diagnosa kesehatan dari alat yang terkualifikasi palsu dan tidak memiliki izin edar tersebut.
"Karena palsu sudah tentu pasti alat yang dimaksud itu tidak berfungsi normal. Ini jelas membodohi masyarakat dan mempermainkan nyawa," ungkap Hidayatullah.
Dari proses penyidikan ditemukan beberapa alat kesehatan yang diadakan tersebut, kondisinya rusak dan berkarat dengan cap atau merk yang telah terkelupas. Padahal penggunaannya belum tiga bulan.
Tak hanya itu, penyidik juga sebelumnya mengendus keterlibatan adik Bupati Pangkep bernama Syamsul A Hamid Batara yang dikenal dengan gelaran Tuan Kelantang dalam kasus dugaan korupsi penggelembungan pengadaan alat kesehatan (Alkes) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pangkep tersebut.
Dugaan keterlibatan Tuan Kelantang yang diketahui sebagai pemilik perusahaan Batara Group dalam proyek tersebut yakni sejak awal terlibat dalam pengaturan pengadaan Alkes. Padahal ia bukan bagian dari aparat pemerintah Kabupaten Pangkep.
Selanjutnya, ia juga memanfaatkan hubungan persaudaraannya dengan Syamsuddin A Hamid Batara yang saat ini menjabat sebagai Bupati Pangkep, sehingga leluasa melakukan pengaturan pengadaan alkes tahun 2016.
"Dalam pengaturan pengadaan itulah, sejumlah perbuatan melawan hukum terjadi diantaranya permufakatan jahat, penggelembungan harga alat kesehatan, pemalsuan merk dagang alat kesehatan, pemalsuan izin edar alat kesehatan serta penggunaan anggaran bukan peruntukannya alias korupsi," terang Hidayatullah kala itu.
Seorang broker proyek, Dokter Susanto Cahyadi, yang ditetapkan awal sebagai tersangka dan sempat ditahan Kejati Sulselbar tepatnya Selasa, 14 Februari 2017 pada kasus ini juga disinyalir punya keterkaitan khusus dengan pria berjuluk Tuan Kelantang itu. Menurut informasi yang didapatkan penyidik saat itu dimana antara Syamsul dan dokter Susanto sempat bertemu dan rapat bersama sekaitan pengadaan alkes.
Hanya saja dalam proses pendalaman informasi tersebut, Hidayatullah keburu dimutasi ke Jawa Barat. Dan akhirnya upaya proses pendalaman yang dilakukan penyidik pun menjadi samar.
Proyek alkes sendiri diketahui menyedot dana alokasi khusus(DAK) senilai Rp 22,998 miliar. Dalam pelaksanaannya diduga terjadi penyimpangan utamanya dalam pembelian alat mesin. Dimana penentuan harga perkiraan sementara (HPS) dilakukan tanpa survei. Melainkan mengacu hanya berdasarkan informasi dan rekomendasi rekanan proyek.
Pada HPS harga dimasukkan senilai Rp 500 juta per unit, sementara harga dipasaran, hasil temuan penyidik alat tersebut hanya seharga sekitar Rp 200 juta.
Tak hanya itu, dari hasil penyidikan ditemukan bahwa mesin alat kesehatan yang diperuntukkan bagi beberapa puskesmas belum memiliki izin edar di Indonesia. Kemudian dalam proses lelang juga dinilai ada rekayasa. Tiga perusahaan yang ikut dalam proses lelang, dua perusahaan diantaranya sengaja tidak dimenangkan dalam proses lelang proyek.
Diduga pemenang lelang dalam proyek telah diatur sedimikian rupa untuk memenangkan perusahan yang dimaksud sebab dua perusahan melakukan penawaran melebihi pagu anggaran.
Pernyataan Hidayatullah pun didukung oleh Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Sulawesi dimana disebutkan beberapa pelanggaran dalam pelaksanaan proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Pangkep Tahun Anggaran 2016 tersebut.
Pertama proses pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun anggaran 2016 pada Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep tidak sesuai ketentuan. Dimana penyusunan Harga Penetapan Satuan (HPS) tidak didasarkan atas survey harga diwilayah setempat. Melainkan HPS tersebut disusun berdasarkan surat penawaran yang diperoleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kasubag Perencanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep.
Selanjutnya, dari LHP BPK juga ditemukan adanya indikasi pemahalan harga dalam penyusunan HPS. HPS disusun dengan dasar penawaran dari penyalur, dimana harga satuan untuk dental unit jauh melebihi harga satuan standar yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Pangkep Nomor 486 tahun 2016. Diantaranya Harga dental unit merek king asal negara Jepang, ditetapkan melalui SK sebesar Rp 180.000.000 sedangkan dental unit dalam HPS sebesar Rp 625.000.000.
SK Bupati tentang penetapan standarisasi harga satuan barang dan jasa itu diterbitkan pada tanggal 26 Juli 2016. Meski setelahnya tepatnya pada tanggal 1 September 2016, SK Bupati itu dicabut dan diganti dengan SK Bupati nomor 569 tahun 2016 yang sama sekali tak mencantumkan penetapan harga standarisasi.
Temuan berikutnya yakni proses pengadaan alkes yang ada tidak melalui sistem e-purchasing. Melainkan proses lelang dilakukan karena mengikuti perintah Pengguna Anggaran (PA) dan tidak pernah melakukan pengecekan di e-katalog. Padahal sesuai ketentuan yang ada, proses pengadaan untuk barang-barang yang sudah ada di e-katalog dilakukan e-purchasing.
Tak hanya itu, BPK juga menemukan adanya indikasi pengaturan peserta lelang. Dimana dari tiga perusahaan yang memasukkan penawaran yakni PT. Aras Sanobar, PT. Toba Medi Sarana dan CV. Jaga Sarana Kencana, terdapat dua penawaran yang diunggah dari sumber yang sama yakni berasal dari desktop IP 180.251.172.8.
Dua perusahaan yang memasukkan penawaran dari sumber yang sama tersebut diketahui penawaran milik PT. Aras Sanobar dan CV. Jaga Sarana Kencana.
Kemudian ada juga temuan terkait kinerja Pokja ULP. Dimana Pokja ULP tidak melakukan evaluasi dokumen penawaran. Diantaranya tak pernah mengunduh dokumen penawaran yang masuk. Tapi dokumen penawaran hanya pernah diunduh oleh user inisial AY yaitu auditor BPK yang sedang melakukan pemeriksaan.
Selain itu, Izin edar alat kesehatan juga tidak dapat ditelusuri dan enam unit alat kesehatan belum didistribusikan dan masih berada digudang rekanan. Itu ditemukan saat tim pemeriksa BPK bersama PPK memeriksa fisik alkes ke gudang penyimpanan alat yang berlokasi di Kabupaten Maros tepatnya pada tanggal 24 Februari 2017.
Enam unit alat kesehatan masing-masing 3 unit dental unit dan 3 unit incubator bayi yang rencananya didistribusikan ke 3 unit puskesmas yakni ke Puskesmas Lk. Kalmas, Puskesmas Lk. Tangata dan Puskesmas Sarappo tersebut ditemukan tersimpan digudang milik PT. Aras Sanobar.
Terakhir, BPK juga menemukan sikap PPK yang tidak cermat dimana melakukan pembayaran tidak sesuai dengan kontrak yang ada. PPK membayar pengerjaan sebesar 30 persen atau senilai Rp 6.867.630.000 sedangkan dalam kontrak perjanjian disepakati nilai pembayaran uang muka yang harus dibayarkan hanya sebesar 30 persen atau senilai Rp 6.867.630.000 sedangkan dalam kontrak perjanjian disepakati nilai pembayaran uang muka yang harus dibayarkan hanya sebesar 20 persen.
Dari temuan diatas tersebut, BPK resmi menyimpulkan bahwa pengerjaan proyek pengadaan Alkes telah terjadi dugaan kerugian negara sebesar Rp 700 Juta lebih dari total anggaran yang telah digunakan sebesar Rp 22 Miliar lebih.
Hasil penyidikan kasus ini telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing inisial SC selaku rekanan, S pemilik korporasi dan AS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2CFBJtUBagikan Berita Ini
0 Response to "Tantangan Pegiat Anti Korupsi untuk KPK"
Post a Comment