Liputan6.com, Aceh - Jumat, 9 November lalu mengawali masuknya bulan Rabiul Awal dalam tarikh Islam. Bulan tersebut menjadi momentum perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal.
Maulid berasal dari kata milad (arab), yang berarti hari lahir. Hampir seluruh umat Islam di Indonesia, bahkan dunia menghiasi bulan Rabiul Awal dengan ber-maulidan. Tiap-tiap wilayah, tentu saja punya kegiatan yang khas untuk meramaikan perayaan Maulid Nabi.
Perbedaan tersebut sesuai dengan kultur kelompok masyarakat setempat yang menjadi refleksi kebudayaan spiritual mereka. Karena itu, tidak bisa dipungkiri, pernak-pernik perayaan maulid juga menjadi representasi adat dan budaya dari kelompok masyarakat yang melaksanakannya.
Contohnya, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Surakarta, perayaan maulid yang disebut Gerebeg Maulud. Gerebeg Maulud merupakan puncak dari rangkaian kegiatan Sekatenan (dari bahasa Arab, syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat).
Sekaten diselenggarakan selama 20 hari berturut-turut, dengan Gerebeg Maulud sebagai penutupnya. Pada saat Gerebeg Maulud, Sultan dan para prajuritnya akan berjalan dari keraton ke Masjid Gedhe Agung Yogyakarta diiringi arak-arakan Gunungan.
Setelah sampai di masjid, diadakan upacara persembahan dan doa-doa kehadirat Allah. Di akhir upacara, gunungan yang diarak tadi akan dibagikan pada rakyat dengan cara berebut atau ngalap berkah.
Beda halnya di Madura. Pesta perayaan Maulid Nabi (Muludhen) dilakukan sejak H-30 sebelum tanggal 12 Rabiul Awal. Setiap hari, warga akan mengadakan tausiah di rumah-rumah secara bergiliran.
Tausiah juga dilakukan di Masjid Agung tepat tanggal 12 Rabiul Awal. Para wanita ramai-ramai datang ke mesjid membawa banyak tampah berisi tumpeng yang dilengkapi sayur-sayuran, buah, uang, juga makanan.
Selesai mendengarkan tausiah, doa bersama dilakukan mengelilingi tampah-tampah berisi makanan tersebut. Isi tampah kemudian dibagikan ke seluruh warga.
Sementara di Aceh, maulid Nabi atau disebut kanduri mulod, kauri, atau uroe mulod, juga dilaksanakan di mesjid, meunasah (musala) atau di tempat yang sudah dipersiapkan. Namun, perayaan maulid di Aceh diisi dengan dikee (zikir) atau meudikee.
"Meudikee tidak terlepas dari kanduri mulod. Ia adalah bagian darinya. Menyambut mulod, pemuda, anak-anak, dan orang tua akan ikut di dalamnya," kata pegiat budaya, Alam Zulfakar, kepada Liputan6.com, ditemui di rumahnya, di Meulaboh, Selasa (20/11/2018).
Meudikee dilakukan dengan cara yang mirip tarian dan berkelompok serta ada yang memandu. Para pelaku meudikee bergerak maju mundur sembari berangkulan sambil bersahutan membaca seulaweut atau shalawat serta beberapa hikayat para nabi yang dituturkan dengan rima tertentu.
Posisi kepala para pelaku dikee sesekali tampak menunduk, mengangkat, menengok kiri dan kanan, dan seterusnya. Jika diperhatikan, ekspresi wajah pelaku ketika meudikee seperti sedang mengalami ekstase (fana, dalam terminologi sufistik).
Konon, mereka tidak akan merasakan sakit andaipun dalam proses meudikee, misal, kaki mereka terinjak atau kepala mereka saling berantukan.
Prosesi meudikee dilakukan dalam waktu yang terhitung cukup lama. Biasanya lebih dari tiga jam, tetapi hampir tidak pernah terdengar mereka jatuh pingsan.
Dilihat dari praktiknya, meudikee sarat dengan seni tari. Dalam meudikee ada gerakan khusus yang disebut lingik, jadi ada perpaduan antara seni tari dan seni suara. Namun, adakalanya tidak ada lingik, tapi hanya seni suara saja. Untuk lebih unik dan indah, maka dimasukkanlah seni tari yang dalam dikee disebut lingik.
Proses memadukan kedua seni tersebut tidaklah mudah. Perlu latihan dan persiapan yang matang sehingga pada hari perayaan kanduri mulod, para peserta dikee dapat tampil secara maksimal.
Sebagai catatan, pada hari H, dalam perayaan maulid di tingkat desa turut diundang kelompok meudikee dari desa tetangga untuk bertandang. Begitu pun sebaliknya, ketika desa lain menggelar perayaan maulid, maka desa tetangga akan diundang.
Tidak ada motif kompetisi. Semuanya sebagai spirit merayakan kanduri mulod. Kendati demikian, para kelompok meudikee ini akan terlihat saling berbalas kelompok mana yang lebih lantang dan indah lantunan dikee-nya.
"Asshalaatu 'alannabi. Wassalaamu 'alarrasul. As-syafii 'il abthahi. Walhabii bul 'arabi....Ya Rasulullah janjongan kami Neubri syafa'at umatmu ini. Tiada la'en harapan kami. Di padang masya himpunan kami," demikian beberapa seulaweut yang lazim disenandungkan dalam dikee mulod di Aceh.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2KqGnhsBagikan Berita Ini
0 Response to "Rahasia Zikir Kebal Sakit dalam Tradisi Kanduri Mulod Warga Aceh"
Post a Comment