Search

Ini Citra Satelit Terbaru Gunung Anak Krakatau Usai Memicu Tsunami Selat Sunda

Liputan6.com, Jakarta - Satelit penginderaan milik badan antariksa Eropa (ESA) menangkap citra Gunung Anak Krakatau, sebelum dan sesudah bencana tsunami Selat Sunda yang menghantam Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018. Serupa, satelit Alos milik Jepang juga telah merilis penginderaan terkait gunung tersebut.

Citra yang dirilis oleh kedua satelit menunjukkan deformasi pada bagian lereng Anak Krakatau saat gunung itu mengalami erupsi.

Deformasi, berupa longsoran sejumlah besar porsi lereng gunung yang kolaps ke laut yang mengelilinginya, disebut-sebut menjadi penyebab tsunami Selat Sunda.

Flank collapse, sebagaimana fenomena longsoran itu dikenal di kalangan akademisi, dipicu oleh erupsi letusan Anak Krakatau, yang kemudian mengakibatkan longsor tanah bagian atas gunung atau porsi tanah di bawah lautan.

Material yang jatuh ke laut --dengan perkiraan material tanah mencakup area seluas 64 hektar-- kemudian mampu menghasilkan gelombang tsunami.

"Ini menyebabkan tanah longsor dan akhirnya menyebabkan tsunami," kata Dwikorita Karnawati, kepala BMKG seperti dikutip dari The Guardian.

Gegar Prasetya, salah satu pendiri Pusat Penelitian Tsunami Indonesia juga menyimpulkan demikian, dengan mengatakan bahwa tsunami Selat Sunda kemungkinan disebabkan oleh flank collapse di lereng Gunung Anak Krakatau, demikian seperti dikutip dari ABC.net.au.

Gambar yang diambil oleh satelit Sentinel-1 Badan Antariksa Eropa (ESA) dan kemudian dipublikasikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi RI (BPPT) pada Kamis (27/12/2018), menunjukkan sebagian besar sisi selatan gunung Anak Krakatau telah longsor ke laut.

Dalam unggahan Tweet berantai-nya, BPPT memberikan analisis awal dari penginderaan satelit Sentinel-1 ESA tersebut:

Bencana #TsunamiSelatSunda dianggap "tsunami sunyi" tidak diawali gempa tektonik yang terdeteksi. Aktivitas Gunung Anak Krakatau ditengarai menjadi pemicunya (vulkanik). Data radar satelit #Sentinel dapat digunakan memantau sebelum dan sesudah kejadian.

Citra radar Satelit #Sentinel-1A & 1B (#CopernicusProject) beresolusi temporal 12 jam, dikombinasikan antara 1A dan 1B menjadi 6 hari untuk pemantauan lokasi yang sama (orbit sama). Data diperoleh gratis, demikian jg s/w (software)-nya.

Untuk kajian bencana #TsunamiSelatSunda digunakan 3 waktu akuisisi data yaitu 29/11 (29 November), 11/12 (11 Desember), dan 23/12 (23 Desember).

Dengan metode interferometri dapat diketahui perubahan permukaan (deformasi). Terjadi deformasi antara 29/11 sampai dengan 11/12 dan antara 11/12 dan 23/12.

Pada analisis deformasi antara data 11/12 dan 23/12, dapat dihitung luasan deformasi sekitar 64 hektar. Karena ada jeda waktu akuisisi citra maka, tidak diketahui dengan tepat waktu terjadinya deformasi tersebut.

Data radar #Sentinel dapat digunakan untuk analisis cepat perubahan permukaan atau deformasi dengan membandingkan citra sebelum dan sesudah kejadian. Untuk kajian detil #TsunamiSelatSunda diperlukan survei lebih lanjut oleh para pakar.

Berikut unggahan foto Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 (22:33:45 UTC), yang ditangkap lewat pencitraan satelit Sentinel-1:

Citra Sentinel pada Anak Krakatau pasca erupsi 22 Desember 2018. Flank collapse pada porsi gunung disebut memicu tsunami yang terjadi pada hari yang sama, dengan selisih waktu yang berdekatan usai erupsi (Sentinel 1 / ESA)

Berikut animasi yang membandingkan wajah Anak Krakatau pada 19 Desember dan 22 Desember-pascaerupsi, yang ditangkap lewat pencitraan satelit Sentinel-1 (kredit: Sentinel-1 / ESA).

Secara visual pada unggahan di atas, tampak bahwa gunung Anak Krakatau mengalami pengurangan porsi akibat jatuh ke laut pada bagian lereng barat daya-nya (pada 22 Desember) pascaerupsi (yang ditunjukkan dengan keluarnya kepulan abu vulkanik dan vog dari apa yang tampak sebagai kawah gunung).

Porsi lereng Anak Krakatau yang jatuh ke laut, menurut perkiraan BPPT, merupakan material tanah yang mencakup area seluas 64 hektar.

Video di atas menunjukkan aktivitas erupsi Anak Krakatau sehari setelah tsunami 22 Desember. Erupsi menunjukkan segumpal besar uap dan semburan material vulkanik berwarna gelap ke udara.

Berdasarkan jenisnya, erupsi itu disebut erupsi freatomagmatik (phreatomagmatic eruption), yang terjadi akibat kontraksi termal dan ledakan partikel akibat pendinginan cepat dari kontak dengan air. Dalam banyak kasus air disuplai oleh laut --seperti Anak Krakatau yang dikelilingi perairan Selat Sunda. Erupsi jenis itu yang juga diperkirakan terjadi pada 22 Desember sebelum tsunami.

Pencitraan Satelit Alos Jepang

Kepala Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, pada 26 Desember 2018, juga telah mempublikasikan hasil pencitraan satelit Alos milik Jepang terhadap Anak Krakatau.

Pencitraan membandingkan gambar yang diambil pada 20 Agustus 2018 dan pada 24 Desember 2018 pascaerupsi Gunung Anak Krakatau.

Sutopo mengatakan, "Nampak lereng sisi barat daya Gunung Anak Krakatau runtuh yang diduga menyebabkan longsor bawah laut sehingga memicu tsunami."

Simak video pilihan berikut:

Gunung Anak Krakatau terus menunjukan aktivitas erupsi. Hingga kini gempa tremor terus terjadi.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2Tbcchl

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Ini Citra Satelit Terbaru Gunung Anak Krakatau Usai Memicu Tsunami Selat Sunda"

Post a Comment

Powered by Blogger.