:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2554653/original/060694700_1545544371-alex-perez-1133729-unsplash.jpg)
Tsunami yang dijelaskan dalam sebuah Ensiklopedia dari Hindia Belanda, yang pernah dijelaskan sebelumnya, merujuk pada gempa dan tsunami yang terjadi di Kepulauan Simeulue. Bencana itu terjadi pada 1907, karena itu orang di Pulau Simeulue, menyebutnya bencana 'taon 7'.
Menurut Ampuh, peristiwa tersebut terjadi pada Jumat, 14 Januari 1907, sekitar pukul 14.00 waktu setempat. 'Smong' 1907 pusatnya berada di Salur, Mukim Bakudo Batu, Kecamatan Teupah Barat, Simeulue.
Nafi-nafi mengenai smong ini terus diingatkan secara turun-temurun, dan menjadi konvensi tak tertulis bagi masyarakat setempat. Bukan saja cerita tentang akibat yang ditimbulkan, tetapi juga gejala-gejala alam yang mendahaluluinya atau oleh orang di kepulauan Simeulue dikenal sebagai 'waskita' atau membaca tanda-tanda alam.
Kata Ampuh, masyarakat Pulau Simeulue adalah masyarakat yang bersekutu dengan alam. Masyarskat Simeulue lebih percaya tanda-tanda alam daripada tsunami warning system buatan manusia, yang menurutnya dapat eror sewaktu-waktu
"Misal, bila terjadi gempa yang disusul dengan surutnya air laut, itu kemungkinan akan terjadi tsunami. Tanda lain jika usai gempa, hewan berlarian ke arah dataran yang lebih tinggi, semisal gunung atau perbukitan," pungkas Kepala Sekolah menulis 'Panteue' yang kini berdomisili di Banda Aceh.
Smong menggantikan Tsunami
Belakangan, kata 'smong' menarik perhatian para peneliti internasional. Ini, beriringan pula dengan munculnya diskursus, terutama di Aceh, tentang padanan kata mana yang tepat untuk menggantikan kosa kata 'tsunami', yang diserap dari bahasa asing.
Terdapat dua pilihan kata, yakni smong dan ie beuna, yang juga berasal dari Bahasa Aceh. 'Ie Beuna' disebut-sebut sudah lebih dulu ada sebelum kata 'smong'.
Menurut Dosen Bahasa Indonesia, dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyah, Herman, RN, 'Ie Beuna' juga dijelaskan dalam hikayat-hikayat Aceh, terdahulu.
"Ie beuna itu memang bahasa lokalnya orang Aceh. Ie itu air, beuna itu, artinya benar. Kalau diartikan secara bebas, berarti air yang benar-benar air, air yang luar biasa biasa dahsyatnya," jelas Herman, kepada Liputan6.com, 8 Januari 2019, sore.
Berbeda dengan smong, penggunaan kata 'ie beuna', tidak merujuk pada kejadian 'munculnya gelombang tinggi setelah gempa'. Saat itu, kata 'ie beuna' digunakan hanya sebagai tutur pengingat bagi anak-anak agar tidak bermain di luar rumah, pada saat hujan lebat dan guntur.
"Jadi, dalam dialog sehari-hari, jika terdengar hujan lebat dan guntur, seorang ibu akan mengingatkan, 'neuk-neuk tamong, siat teuk ie beuna' artinya, nak, masuk ke dalam rumah, sebentar lagi datang 'ie beuna'. Begitu," jelas Herman.
Smong dianggap kata yang paling tepat, karena 'keampuhannya' yang telah menolong ribuan nyawa di Pulau Simeulue, berbeda dengan wilayah lain di Aceh, seperti yang pernah dijelaskan.
Kiranya, ini pula yang mendorong, United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) memberi penghargaan UN Sasakawa Award kepada orang-orang Simeulue pada 12 Oktober 2005. Penghargaan itu diberikan di Bangkok, Thailand.
Budaya tutur tentang smong di Pulau Simeulue dinilai ikut berkontribusi bahkan mempromosikan tujuan dari strategi internasional untuk pengurangan bencana. Sebagai kearifan lokal, budaya tutur smong mengedukasi masyarakat untuk siap siaga.
Kiranya tidak berlebihan, jika kosa kata smong ikut memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terakhir atau Edisi V. Dari 127.036 lema, terdapar 250 lema yang diserap dari Bahasa Aceh, termasuk di dalamnya, kosa kata smong.
Kosa kata smong tersebut diusulkan oleh Balai Bahasa Aceh beberapa waktu lalu sebagai pengganti kata tsunami. Namun, menurut Herman, ada kesalahan ejaan, dimana kata smong ditulis, semong.
"Tulisannya itu keliru. Sudah tiga versi berarti 'smong' itu. Smong dari Bahasa Simuelue, seumong Aceh pada umumnya, dan semong yang ada di KBBI," sebutnya.
Menurut Herman, pada KBBI Edisi IV, juga terdapat kesalahan dalam pengutipan bahasa daerah Aceh. Kata 'dayah' yang artinya 'pesantren' , menjadi 'seorang ibu yang sudah lama ditinggalkan anak'. Namun, pada edisi V, kesalahan tersebut sudah direvisi.
"Kita menyarankan agar hal ini diluruskan. Kita berupaya bagaimana pihak Balai Bahasa Aceh, meluruskan kembali hal tersebut," pinta dia.
Kata Herman, tidak menutup kemungkinan, penulisan kata smong menjadi semong sudah berdasarkan kesepakatan pakar bahasa. Bisa jadi, pihak Balai Bahasa dan Badan Bahasa sepakat menyeleraskan ejaan, karena Indonesia tidak lazim menggunakan konsonan rangkap 'sm'.
"Itu bisa jadi juga. Sehingga disesuaikan dengan pelafazan orang Indonesia pada umumnya, jadi tidak diucap smong, tapi semong," tukasnya, menutupi.
Simak video pilihan berikut ini:
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2CbNDu1Bagikan Berita Ini
0 Response to "Smong, Kearifan Lokal dari Kehadiran Tsunami di Aceh"
Post a Comment