Jika dapat digambarkan, Aceh bak seorang puteri nan cantik jelita dengan kesempurnaan yang nirmala, di samping banyak mendapat kecaman karena dinilai terlalu konservatif terutama dalam hal menegakkan syariat. Nilai-nilai keislaman memang dominan di provinsi ini.
Lantas, seberapa 'garis keras' provinsi yang berada di ujung utara Pulau Sumatera ini? Mengingat, Mahfud MD belum lama ini melontarkan pernyataan Aceh termasuk salah satu provinsi yang dulunya diidentifikasi sebagai provinsi garis keras, selain Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.
Pernyataan pakar hukum tata negara asal Madura itu keluar saat wawancara di salah satu stasiun tv nasional. Ia saat itu menjelaskan perihal kemenangan antara Jokowi dan Prabowo.
"Dan, itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga," begitu potongan wawancara Mahfud MD dalam video yang tersebar luas di media sosial.
Mahfud MD tidak sepenuhnya salah. Terlebih, mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang pernah mengambil Jurusan Sastra Arab di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga telah mengklarifikasi maksud dari lakab 'garis keras' tersebut.
Sebelumnya, telah disinggung bahwa nilai-nilai keislaman menjadi pedoman yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Aceh. Atas dasar agama pula, rakyat Aceh pernah mati-matian memperjuangkan tanah nenek moyang mereka dari cengkeraman penjajah.
Sejarah mencatat, Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak pernah mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Aceh disebut sebagai daerah modal bagi perjuangan bangsa Indonesia karena selama revolusi fisik, Aceh satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki Belanda.
Belanda memang mendirikan benteng-benteng dan menjalankan roda pemerintahannya di Kutaraja. Namun, tak pernah secara de facto menguasai Aceh.
Siang malam, rencong pejuang Aceh masih mengincar prajurit marsose hingga petinggi Belanda. Pun sama, ketika Jepang yang dikira bersahabat memaksa rakyat Aceh melakukan ritual 'sekeirei', menyembah sang Tenno Heika.
Alasan Daud Beureuh memberontak dan berniat mendirikan Negara Islam di bawah kepemimpinan S.M Kartosoewirjo sedikit banyak juga karena hukum syariah dinilai telah dikebiri saat itu. Ketika Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agama juga yang menjadi spiritnya.
"Aceh sedari dulunya merupakan pusat pengembang dakwah Islam dan penyebar nilai-nilai kebebasan. Ia tidak dapat membiarkan sebuah bangsa yang rakyatnya ditindas dan dikungkung oleh penguasanya," kata Ketua Ketua Center of Information for Samudra Pasai Heritage, Abdul Hamid, kepada Liputan6.com, Minggu malam (29/4/2019).
Sekali lagi, agama bagi rakyat Aceh adalah suplemen yang melahirkan spirit elementer perjuangan. Sang mair adalah kepastian, di mana jihad bermuara surga, demikian yang tersurah dalam bait 'Prang Sabi', hikayat sekaligus doktrin yang membuat Belanda mengambil sikap hendak memusnahkannya, layaknya tentara memberangus buku-buku berhaluan kiri.
"Namun sebagai mana ibadah lainnya, jihad juga memiliki syarat dan rukunnya, inilah yang membedakan jihad dangan penaklukan dan tindak barbarian," kata Hamid.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2UH925jBagikan Berita Ini
0 Response to "Menengok Aceh Si Putri Jelita yang Perkasa"
Post a Comment