:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2798662/original/002531800_1557219743-20190507-Gunung_Pelee.jpg)
Suasana di kaki Gunung Pelee mencekam. "Pagi ini, seluruh penduduk kota dalam kondisi siaga. Semua mata memandang ke arah Gunung Pelee, gunung berapi yang diyakini telah lama tidur," tulis Clara Prentiss, istri konsul Amerika Serikat di St Pierre dalam sebuah surat untuk adik perempuannya, seperti dikutip dari situs earthmagazine.org.
"Semua orang takut, gunung berapi itu siap meledak dan menghancurkan seluruh pulau.
Selama beberapa hari kemudian, pemerintah setempat berupaya meyakinkan warga yang panik untuk tetap tinggal.
"Tak ada aktivitas Gunung Pelee yang menjadi alasan eksodus dari kota St. Pierre," demikian pengumuman yang dikeluarkan kantor gubernur. Pemerintah bahkan mengklaim, keamanan St. Pierre sepenuhnya terjamin.
Kesimpulan itu diambil oleh komisi yang terdiri atas para ahli yang dibentuk sang gubernur. Di mana ketuanya konon adalah guru mata pelajaran sains SMA, bukan ilmuwan.
Konon, pemilu jadi alasannya. Pihak partai berkuasa ingin melanggengkan kekuasaannya, apapun yang terjadi.
Tentara bahkan dikerahkan, untuk mengadang siapapun yang berniat pergi. Belakangan, keputusan itu terbukti salah. Dan, ribuan nyawa jadi tumbalnya.
Di sisi lain, seperti dikutip dari situs History, ada keyakinan keliru dari penduduk St Pierre. Mereka percaya, satu-satunya bahaya dari gunung berapi adalah aliran lava. Kalaupun itu terjadi, mereka masih punya banyak waktu untuk melarikan diri ke tempat yang aman.
Bahkan, beberapa orang datang dari luar kota untuk melihat aktivitas gunung berapi itu. Padahal, abu Gunung Pelee sudah menumpuk di jalanan.
Malapetaka akhirnya tiba pada hari itu, 8 Mei 1902. Tatkala penduduk menuju gereja untuk merayakan Kenaikan Isa Almasih, awan panas, batu berpijar, dan abu yang membara, dalam jumlah besar, menuruni lereng Gunung Pelee dengan kecepatan mencapai 100 mil per jam.
Hanya butuh waktu kurang dari semenit bagi aliran priroklastik itu untuk mencapai kota St. Pierre, menghancurkan apapun yang dilewatinya, bangunan juga manusia-manusia di dalamnya.
Pada pukul 08.02, material gunung berapi itu menerjang kota. 'Paris of the Caribbean' rata dengan tanah. Bangunan-bangunan megah tinggal puing-puing gosong. Sebanyak 30.000 penduduknya mati lemas atau tewas karena luka bakar. Gubernur dan keluarganya masuk dalam daftar korban jiwa.
Selama beberapa hari pasca-erupsi Gunung Pelee, kota St. Pierre terbakar hebat.
Victor Albert, yang menyaksikan letusan hebat Gunung Pelee dari ladang miliknya, mengisahkan apa yang ia saksikan pada hari itu pada koran La Croix.
"Kilatan cahaya lebih menyilaukan dari kilat biasa...Pada saat bersamaan, awan yang terbentuk di puncak Montagne Pelee jatuh ke St Pierre dengan sangat cepat, mustahil bagi siapapun bisa kabur."
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping http://bit.ly/2vJlJCHBagikan Berita Ini
0 Response to "8-5-1902: 30.000 Orang Tewas Akibat Erupsi Gunung Pelee, Tumbal Kekuasaan?"
Post a Comment