Liputan6.com, Kutai Kertanegara - Rencana pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta kembali mencuat ke permukaan. Isu lama itu bebenarnya sudah disuarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal masa jabatannya.
Isu pemindahan ibu kota bahkan sempat terlontar kala mantan Gubernur DKI Jakarta meresmikan mega proyek di Kawasan Industri Maritim Buluminung, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim), akhir 2015 silam.
Gubernur Kaltim masa itu, Awang Faroek Ishak yang terang-terangan mempromosikan kawasan tersebut menjadi alternatif pilihan ibu kota baru. Kebetulan pula momentumnya, Jokowi datang meresmikan sejumlah proyek di Kaltim.
Proyek jalan tol Balikpapan–Samarinda, Pupuk Kaltim V Bontang, dan kawasan industri Buluminung.
Awang menyebutkan, Buluminung pantas menjadi pertimbangan pemerintah pusat. Soal itu, Jokowi sempat berujar ada sejumlah daerah dievaluasi menggantikan Jakarta yang kian padat.
"Ada beberapa lokasi sedang dalam kajian Bappenas, hanya belum bisa disampaikan sekarang," papar Jokowi.
Hingga sepekan lalu, Jokowi sepertinya mulai menjalankan rencananya yang sempat terkubur agenda pemilu. Hanya beberapa hari usai pencoblosan suara pemilu rampung, calon presiden unggul versi hitung cepat ini meninjau langsung lokasi di Kalimantan, Selasa (7/5/2019).
Tujuan orang nomor satu Indonesia adalah Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara (Kukar) Kaltim. Kawasan konservasi yang diharapkan bisa menggantikan keruwetan kota metropolitan Jakarta.
Selama di Kaltim, Jokowi memang belum menjatuhkan pilihannya. Pasalnya, Tahura Bukit Soeharto pun masih bersaing dalam rencana pemindahan ibu kota dengan kandidat lainnya, yaitu Palangkaraya di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Selama empat jam di Kaltim, Jokowi lantas memuji kelengkapan sarana infrastruktur Kaltim yang memadai bagi fasilitas ibu kota Indonesia. Selepas itu tanpa banyak cakap, ia pun langsung terbang meninjau Palangkaraya.
Pertanyannya, apakah benar Bukit Soeharto layak menjadi ibu kota negara?
Soal satu ini, Badan Pengelola Tahura Bukit Soeharto menanggapi dingin rencana presiden. Mengapa demikian? Usut punya usut ternyata pihak badan pengelola sudah dipusingkan dengan permasalahannya sendiri dibanding harus mengomentari soal pemindahan ibu kota.
Pembalakan, pertambangan liar, hingga perambahan masyarakat merupakan cerita pelbagai permasalahan pengelolaan Tahura Bukit Soeharto. Kawasan konservasi yang luasnya terus menyusut, dari 64 ribu hektare kini tinggal menyisakan 20 hektare. Sehingga isu soal pemindahan ibu kota negara sepertinya tidak menarik bagi mereka.
“Kami fokus pada tugas mengelola Tahura saja, tidak ikut komentar soal perkembangan terbaru. Itu urusan pimpinan saja,” kata Kepala Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Tahura Bukit Soeharto, Rusmadi kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2019).
Bukit Soeharto diibaratkan duri dalam daging bagi pemerintah daerah. Satu sisi wajib menjaga sterilisasi kawasan berbanding terbalik dengan realitas lapangan.
Permasalahannya ratusan kepala keluarga sudah terlanjur bermukim di sana. Apalagi masih banyak hutan di kanan kiri jalan antara Balikpapan–Samarinda. Saat diterabas 50 meter menembus hutan, kawasan beralih menjadi lahan kritis, padang ilalang, dan bekas galian tambang.
"Hutannya ada di sisi kiri kanan jalan saja, sisanya sudah lahan kritis semua. Masalah di sini seperti benang kusut," keluh Rusmadi.
Lantaran itu pula, Rusmadi menetapkan zonasi area kritis Bukit Soeharto seluas 48 ribu hektare. Zonasi terbagi dalam blok rehabilitasi, khusus dan perlindungan yang terpetakan berkat analisa pengamatan drone maupun pencitraan satelit.
"Perhitungan kami area ini yang sekiranya segera memperoleh penanganan serius," ujarnya.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2Hn7oSTBagikan Berita Ini
0 Response to "Calon Ibu Kota Itu Bernama Bukit Soeharto"
Post a Comment