:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2813598/original/005612600_1558592394-Seren_Taun_salah_satu_upacara_adat_masyarakat_akur_sunda_wiwitan_cigugur_yang_masih_lestari.jpg)
Pada masa Arya Kemuning, sebagian besar masyarakat di Kabupaten Kuningan menganut Islam. Namun demikian, Arya Kemuning maupun Sunan Gunungjati tidak menghilangkan tradisi, budaya, serta ajaran kebaikan dari Sunda Wiwitan.
Masuk ke generasi kedua kaum Sunda Wiwitan, sekitar tahun 1930, kembali dihidupkan oleh Kiai Muhammad Rais atau dikenal dengan Pangeran Sadewa Madrais Alibasa.
Kiai Muhammad Rais berdasarkan catatan Kuningan merupakan keturunan dari Pangeran Alibasa. Sementara itu, Pangeran Alibasa masih memiliki keturunan Sunan Gunungjati.
"Ada cerita kontroversi di generasi kedua ini, tapi sebagian besar meyakini Kiai Muhammad Rais merupakan turunan Sunan Gunungjati dari garis keluarga Gebang Kabupaten Cirebon," ucap dia.
Dalam membangkitkan kembali kaum Sunda Wiwitan, Kiai Muhammad Rais turut berperang dan menjadi tokoh gerakan kebangkitan kebangsaan melalui gerakan kebudayaan.
Usai berjuang melawan Belanda dan merebut kemerdekaan Indonesia, kaum Sunda Wiwitan diberikan kepada turunannya, yakni Pangeran Tedja Buana pada tahun 1948.
"Setelah Pangeran Tedja Buana penokohan Sunda Wiwitan Cigugur diserahkan kepada Pangeran Djati Kusuma. Kalau orang dulu ke lingkungan itu tidak merusak. Misal ada kearifan lokal di situ ya dilanjutkan, ada yang salah ya dibeneri," tutur Opan.
Misalnya, sebelum Islam datang ada tradisi mandi suci, di Islam juga ada mandi suci.
"Tinggal apa yang belum sempurna dari situ seperti belum ada niat, ya diberikan bacaan niat, ditutup dengan apa supaya tetap suci ditutup dengan wudu," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Masyarakat Penghayat Sunda Wiwitan Cigugur memiliki tradisi tahunan bernama Seren Taun
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kaum Sunda Wiwitan Cigugur dan Keturunan Sunan Gunungjati"
Post a Comment