Namun pertanyaan yang mengganggu tetap ada. Apakah Mahathir, seorang pria yang pernah disebut sebagai "musuh media" oleh Committee to Protect Journalists yang berbasis di New York, benar-benar menjadi garda pers ideal yang andal?
Analis mengatakan terlalu dini untuk menyatakan pers Malaysia bebas, meskipun pemerintahannya telah menghapus undang-undang fake-news yang dicanangkan pada era-Najib.
Gayathry Venkiteswaran, asisten profesor yang mengajar komunikasi di kampus Nottingham University di Malaysia, menekankan bahwa kecuali undang-undang lain yang mempengaruhi media dicabut, tidak ada jaminan kebebasan.
"Akses terhadap informasi mungkin sedikit meningkat karena pemerintah tampaknya terbuka untuk media," kata Gayathry. "Tetapi akses tersebut masih berdasarkan kasus per kasus dan tidak dilembagakan."
Masyarakat dan sistem politik berbasis ras di Malaysia juga menjadi penghalang lain terhadap kebebasan pers yang sesungguhnya, kata Eric Loo, analis senior di Universitas Wollongong, Australia.
Secara teoritis, Loo mengatakan, editor media bisa tetap independen bahkan jika kantor mereka dimiliki oleh partai politik. "Tetapi, realitas politik di Malaysia mengisahkan cerita yang sangat berbeda, karena media arus utama selama beberapa dekade umumnya condong pada partai yang berkuasa."
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2208882/original/062967200_1526001403-20180511-PM-Malaysia-AFP-AP3.jpg)
Masih ada sekitar 35 undang-undang yang melanggar kebebasan media di Malaysia, kata pemimpin redaksi Malaysiakini, Steven Gan. Pemerintah, sementara itu, berbicara tentang pembentukan dewan untuk kemerdekaan media.
Tapi Steven Gan --yang menang dalam beberapa tuntutan hukum yang diajukan oleh pemerintah Najib atas keberatannya terhada jurnalisme kritis Malaysiakini-- ingin melihat undang-undang yang mengekang pers untuk segera diubah. Dia juga menginginkan reformasi untuk memastikan independensi lembaga-lembaga pemerintah seperti badan anti-korupsi dan komisi pemilihan.
"Oleh karena itu, bahkan jika orang-orang baru berkuasa, mereka tidak akan dapat menimbulkan terlalu banyak kerusakan pada kebebasan media," katanya pada sebuah forum di bulan Juli 2018.
Bahkan dengan lebih banyak rintangan di depan, godaan Malaysia baru-baru ini dengan kebebasan pers dapat menjadi contoh bagi negara-negara seperti Kamboja dan Singapura, di mana hanya ada sedikit toleransi terhadap berita yang dapat mencoreng pemerintah yang berkuasa.
Kazi Mahmood, seorang editor surat kabar Kamboja Khmer Times, mengatakan Malaysia dapat menginspirasi "revolusi media" di Asia Tenggara --termasuk Indonesia-- jika Mahathir berhasil menghilangkan pengaruh politik dari pers. Terutama, lewat kebijakan andalannya yang hendak membatasi saham partai politik di media hingga maksimal sebatas 10 persen saja.
"Meskipun sulit, masyarakat sipil di Singapura mungkin ingin menggunakan contoh Malaysia untuk meningkatkan kesadaran dan (mencari) peningkatan dalam kebebasan sipil," kata Gayathry.
Ketika menyangkut bisnis, pergeseran di Malaysia telah membawa nasib baik bagi beberapa organisasi media dan kesulitan bagi orang lain.
Malaysiakini, karena menarik lebih banyak pendapatan, memperluas operasi pengiriman berita dan mencapai jangkauan pelanggan sejauh Amerika Selatan. Tetapi pemain lain memotong pekerjaan.
The Malay Mail, tabloid berbahasa Inggris tertua di negara itu, meninggalkan edisi cetaknya dan mulai sepenuhnya digital pada 2 Desember, memotong sepertiga stafnya.
"Cara lama dalam melakukan bisnis surat kabar --dari iklan yang mensubsidi sirkulasi, biaya editorial dan pencetakan-- tidak lagi layak," kata Wong Sai Wan, kepala editor harian The Malay Mail.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2300086/original/052282900_1533268759-20180803-Menlu-AS-Temui-PM-Mahathir-Di-Malaysia-AFP-5.jpg)
Tetapi, orang-orang yang mengenal perusahaan The Malay Mail dengan baik mengatakan, manajemen menembak dirinya sendiri di kaki dengan menjadi "corong de facto Najib." Penerbit The Malay Mail adalah Siew Ka Wei, seorang pengusaha yang juga memiliki usaha industri kimia Ancom --yang mana saudara laki-laki Najib, Johari, adalah direktur perusahaan itu.
"Kegagalan Malay Mail terkait dengan era Najib, bukan karena penjualan yang tidak bersemangat dan berkurangnya jumlah pembaca," kata mantan editor media itu.
Utusan Malaysia, sebuah harian berbahasa Melayu, melembagakan rencana pada bulan September untuk mengurangi tenaga kerjanya sebesar 800 orang, dari semula 1.500. Langkah itu muncul setelah mereka gagal mendapat pinjaman bank pada bulan Agustus.
Dikendalikan oleh partai Najib, Organisasi Nasional Melayu Bersatu, atau UMNO, Utusan Malaysia telah bertahun-tahun bergantung pada pemerintah untuk bantuan keuangan, kata seorang mantan menteri.
"Pada 2010, 2011 dan 2012, saya, sebagai menteri informasi, harus memberikan bantuan ke Utusan Malaysia dengan memasang iklan," kata Rais Yatim di portal berita lokal.
The New Straits Times (NST), corong UMNO lainnya, menemukan dirinya dalam keadaan tak menentu.
Pemiliknya, Media Prima, grup media terbesar di negara itu, baru-baru ini mengumumkan penjualan dan perjanjian sewa-guna-usaha dengan dana negara PNB Development untuk 280 juta ringgit (US$ 66,8 juta). Hasil dari transaksi, yang termasuk penjualan kantor pusat The New Straits Times di atas lahan utama di Kuala Lumpur, akan digunakan pembayaran utang.
Setelah menjadi lembaran besar yang memiliki reputasi baik, surat kabar ini adalah warisan pemerintah kolonial Inggris dan melacak asal-usulnya hingga tahun 1845, seperti The Straits Times. Di bawah pemerintahan Najib, NST mendukung pemerintah, tetapi bersikap kritis terhadap oposisi Mahathir.
"Kami sekarang adalah surat kabar oposisi," Abdul Jalil Hamid, CEO NST, mengatakan pada staf balai kota yang bertemu seminggu setelah kemenangan mengejutkan Mahathir. Ia juga mengimbau para wartawannya utuk memberikan pemberitaan yang adil terhadap pemerintahan Mahathir dan oposisi.
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2rn0jsJBagikan Berita Ini
0 Response to "PM Malaysia: Meski Tak Enak Didengar, Pers Bebas Menyampaikan Informasi"
Post a Comment