Liputan6.com, Jakarta - Putu Wijaya kecil pernah dimarahi gurunya lantaran menulis cerita tentang musim semi saat ditugaskan mengarang di sekolah. Sang guru berkata, di Indonesia tidak ada musim semi. Sang guru menilai Putu Wijaya terlalu jauh berkhayal.
"Pada saat itu saya diam saja, saya tidak berani melawan karena dia guru," begitu kata Putu Wijaya menceritakan sepotong kisah di masa kecilnya.
Besar sebagai sastrawan serba bisa, ternyata Putu wijaya terlahir dari keluarga yang bukan seniman. Hanya saja keluarganya suka membaca, dan kebiasaan itu yang menular kepada dirinya.
"Saya membaca apa saja, saya juga membaca koran nasional Star Weekly yang diberikan kakak saya, di dalamnya ada cerita pendek, cerita bersambung, cerita detektif, dan cerita silat," begitu kata Putu Wijaya menambahkan.
Dari kegemaran membaca sejak kecil, memunculkan keinginan untuk menulis dan menghasilkan buku seperti apa yang dibacanya. Awalnya Putu Wijaya tidak mendapat dukungan, mengingat orangtua di zaman dulu tidak merasa bahwa kesenian sesuatu yang bisa memberikan janji kesejahteraan, termasuk di Bali, yang dahulu masyarakatnya masih beranggapan kesenian hanyalah sambilan.
Putu Wijaya juga mengagumi beberapa sastrawan, seperti Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Di awal-awal pencarian, Putu Wijaya menulis dengan cara meniru-niru gaya bahasa karya sastrawan yang dibacanya. Kemudian proses kreatif Putu Wijaya berkembang, sehingga dirinya ingin sekali menulis dengan caranya sendiri, yang orang lain tidak suka, menulis berdasarkan keinginannya yang paling jujur. Dari hal tersebut kemudian Putu Wijaya menuliskan sesuatu "semaunya" sendiri, sesuatu yang berdasarkan pengalamannya.
Bagi Putu Wijaya, menulis "semaunya" merupakan pengakuan jujur kepada diri sendiri yang tidak dimiliki orang lain. Menulis semaunya tentang pengalaman pribadi yang konyol tentu menjadi sesuatu yang khas jika dibaca orang lain.
Kemudian dari tahap itu, pencarian Putu Wijaya makin berkembang dan tidak lagi menuliskan hal-hal yang bersifat pribadi, tetapi menulis tentang lingkungan di sekitarnya. Kemudian lebih berjarak lagi dengan menuliskan tentang orang lain, menuliskan tentang isu-isu terhangat dari berita yang diendapkan, sehingga menjadi sebuah tulisan fiksi yang bisa diterima banyak orang. Sampai pada akhirnya Putu Wijaya menemukan gaya kepenulisannya sendiri.
Putu Wijaya menilai perkembangan sastra di Indonesia saat ini sangat baik. Hanya saja kadar sastra dalam sebuah karya sastra kini malah menjadi berkurang. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut, yang pertama adalah makin banyaknya penerbitan.
"Kalau dulu, bacaan sastra itu penerbitnya kurang sekali, sekarang gencar. Kalau dulu buku kita diterbitkan kita merasa bangga, karena dia melalui suatu seleksi. Tapi sekarang siapa pun bisa melakukan sesuatu (menerbitkan buku), gampang kan? Jadi sekarang sesuatu yang diterbitkan bukan jaminan bahwa isinya bagus," kata Putu Wijaya.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2U7lSheBagikan Berita Ini
0 Response to "Putu Wijaya dan Dongeng Masa Kecil tentang Musim Semi"
Post a Comment