Search

Toleransi Beragama di Kampung PKI

Liputan6.com, Kutai Kertanegara - Argosari, begitu namanya. Kampung terpencil di Kalimantan Timur itu menjadi tempat penampungan tahanan politik yang terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Kasarnya, mereka dibuang ke desa itu hanya untuk dilupakan. 

Kini ada sekitar 167 KK di Argosari yang hampir semuanya tertutup terhadap wartawan dan pemberitaan. Cerita masa lalu langsung mereka tolak. Namun Liputan6.com berkesempatan bertemu dengan Maman Sudana (76), saksi hidup dan pelaku sejarah keberadaan Argosari. Sejak awal bertemu saat sedang beribadah di Masjid An Naas Argosari, dirinya sudah mewanti-wanti untuk tidak membicarakan cerita kelam masa lalu.

"Saya tidak mau bicara politik, sudah bosan. Lebih baik bicara soal keagamaan saja," kata Maman kepada Liputan6.com, Jumat (10/5/2019).

Maman merupakan salah seorang eks tapol Argosari yang jumlahnya kian menyusut. Faktor usia yang membuat mereka satu per satu berpulang sejak Argosari beridir pada 1970.

"Sudah banyak yang meninggal dunia. Mungkin tersisa enam orang saja dari dulunya mungkin ratusan orang," ungkap Maman.

Maman yang asli Sunda merupakan korban konflik masa lalu. Tanpa persidangan dirinya langsung ditahan dan diasingkan ke Kalimantan, hingga akhirnya terdampar di Argosari.

"Biasanya yang sering cerita masa lalu itu Untung Suyanto, Sugito Kasirin, M Kapli. Kalau saya sudah malas mengingat lagi," katanya.

Maman mulai bisa 'move on', hidupnya kini fokus sepenuhnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mengurus Masjid An Naas Argosari.

"Kalau sudah seumuran saya ini, apa lagi yang mau dicari? Mencari ketenangan jiwa dengan menekuni kegiatan keagamaan lebih bermakna," ujarnya.

Maman mengatakan, suasana perkampungan sangat mendukung keinginannya menyingkir dari keramaian duniawi. Argosari sendiri dihuni oleh orang-orang yang senasib sepenanggungan dengannya.

Rata-rata mereka hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan tenang. Argosari bisa diibaratkan Indonesia kecil dengan beragam suku bangsa dan kepercayaan.

"Kami semua adalah keluarga yang saling mendukung satu dengan lainnya. Toleransi beragama tumbuh otomatis tanpa perlu diajarkan," papar Maman.

Maman mencontohkan, empati antar warga terlihat kala mereka ditimpa kemalangan. Tanpa harus diundang,  seluruh warga akan datang untuk memberikan dukungan.

 "Tanpa memandang agama dan suku diantara kami," ujarnya.

Memasuki Ramadan misalnya, mereka yang nonmuslim bertoleransi dengan tidak menggelar kegiatan secara berlebihan.

"Mereka menggelar acara di luar bulan Ramadan agar tidak mengganggu umat muslim," sebutnya.

Demikian pula saat perayaan Hari Raya Idul Fitri, kata Maman, mereka yang nonmuslim berbaur dan datang ke rumah orang Islam untuk sekadar mengucapkan selamat lebaran. Sebaliknya pula, orang Islam akan melakukan hal serupa saat mereka merayakan Hari Natal.

Pada prinsipnya, Argosari seperti keluarga yang dipersatukan kesamaan nasib. Maklum saja, mengingat mereka adalah eks tapol atau setidaknya anak turunan eks tapol PKI.

Let's block ads! (Why?)

from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2VWfk5F

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Toleransi Beragama di Kampung PKI"

Post a Comment

Powered by Blogger.