Namun, organisasi masyarakat sipil dan hak asasi manusia telah menilai skeptis dan mengkritik cara yang dilakukan China terhadap kelompok minoritas di Xinjiang, termasuk Uighur dan etnis minor lainnya.
"Memang betul bahwa negara punya tanggung jawab dalam penanganan dan penanggulangan terorisme di wilayahnya, tapi, apakah yang mereka lakukan itu sesuai dengan prinsip hak asasi manusia?" kata bidang Komunikasi dan Advokasi Amnesty International Indonesia, Haeril Halim kepada Liputan6.com di Beijing, Rabu 20 Februari 2019.
Tentang program "deradikalisasi" yang dilakukan China, Haeril mempertanyakan seputar "berapa banyak jumlah orang yang masuk dan berapa presentasenya dari total populasi atau total kelompok target, berapa fasilitas yang didirikan, apa indikator yang digunakan pemerintah untuk memasukkan 'para terduga teroris dan ekstremis' ke dalamnya, apakah pelaksanaannya sesuai standar hukum dan apakah itu satu-satunya cara?" lanjut Haeril yang meminta agar Tiongkok terbuka atas hal-hal merinci tersebut.
"Dunia juga tidak bisa mengabaikan laporan panel HAM PBB tentang 1 juta muslim Uighur yang diduga ditahan paksa. Dan jika China ingin membantah hal ini dan mengatakan angka itu tidak benar, maka mereka harus memberikan akses kepada PBB atau pemantau independen ke Xinjiang untuk membuktikan sendiri dengan metodologi ilmiah yang transparan, kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan," imbaunya.
Kendati demikian, Haeril mengapresiasi langkah China yang telah mengundang sejumlah duta besar, organisasi masyrakat dan HAM serta media dari negara asing --termasuk Indonesia-- untuk berkunjung ke Xinjiang selama beberapa waktu terakhir.
"Langkah awal itu patut diapresiasi karena menunjukkan political will dari China. Tapi, mereka harus tetap memberikan akses independen, mandiri dan transparan kepada PBB atau tim pemantau mandiri," kata aktivis Amnesty itu.
Haeril melanjutkan, hingga China memberikan akses kepada PBB atau pemantau independen untuk mengonfirmasi langsung secara mandiri di Xinjiang, maka organisasi masyarakat sipil dan HAM seperti Amnesty tetap berpegang pada temuan mereka saat ini. Hasil penelitian Amnesty pada 2018 berdasarkan testimoni ratusan orang-orang Uighur di luar China, melaporkan adanya "kamp penahanan massal" bernuansa "diskriminasi rasial".
Di sisi lain, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, pada Desember 2018, telah mengatakan bahwa kantornya mencari akses ke Xinjiang untuk memverifikasi "laporan yang mengkhawatirkan" seputar Uighur.
China pun mengatakan akan menyambut para pejabat PBB yang hendak melawat ke Provinsi Xinjiang, jika mereka mengikuti prosedur yang tepat.
"Xinjiang adalah wilayah terbuka, kami menyambut semua pihak, termasuk pejabat PBB, untuk berkunjung, asal mereka mematuhi hukum dan peraturan China, dan melalui prosedur perjalanan yang tepat," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lu Kang, Senin 7 Januari 2019, seperti dikutip dari Al Jazeera, 8 Januari 2019.
Namun dia memperingatkan bahwa para pejabat PBB juga harus "menghindari campur tangan dalam masalah-masalah domestik" dan mengadopsi sikap objektif dan netral.
from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2J14WVgBagikan Berita Ini
0 Response to "Dikritik soal Isu Uighur, Badan Informasi China Angkat Bicara"
Post a Comment