Search

HEADLINE: Kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302, Horor Lion Air yang Terulang?

Pesawat jenis 737 MAX adalah primadona bikinan Boeing. Paling populer, punya teknologinya termutakhir, lebih nyaman buat penumpang, memiliki jangkauan luar biasa, fleksibel, efisien, juga ramah lingkungan. Dan yang jelas, laku keras!

"Pesawat 737 MAX adalah pesawat paling cepat terjual dalam sejarah Boeing. Telah dipesan lebih dari 4.700 unit dari 100 konsumen dari seluruh dunia," demikian dikutip dari Boeing.com.

Namun dua kecelakaan yang melibatkan Boeing 737 MAX 8, yang bisa menampung maksimal 210 penumpang, membuat keselamatan pesawat jenis itu dipertanyakan. Apalagi selisihnya hanya lima bulan.

Kedua pesawat nahas sama-sama celaka sesaat setelah lepas landas, Ethiopian Airlines dalam enam menit, sementara Lion Air 13 menit. Kondisinya masih bagus, menempuh jarak pendek, dan tak ada yang selamat dalam musibah yang menimpanya.

Pilot yang mengendalikan kedua pesawat sama-sama minta izin kembali ke bandara awal atau return to base. Dua penerbangan mengalami fluktuasi kecepatan drastis selama naik (climb). 

Bedanya, Lion Air jatuh di laut, sementara Ethiopian Airlines di darat. Dan tak seperti dengan maskapai asal Indonesia, ET 302 tak melaporkan adanya kerusakan teknis. 

Lokasi jatuhnya maskapai Ethiopian Airlines (AFP)

Masih terlalu dini untuk menuding salah satu faktor jadi penyebab kecelakaan. Para penyelidik, yang dipimpin aparat Ethiopia, yang berkoordinasi dengan tim ahli dari Boeing dan US National Transportation Safety Board akan segera menyelidiki semua kemungkinan.

Apalagi kotak hitam pesawat, perekam data penerbangan dan suara kokpit telah dievakuasi dari lokasi kecelakaan.

Para ahli juga memperingatkan, meski pesawat Lion Air dan Ethiopian Airlines punya jenis yang sama, bukan berarti alasan keduanya jatuh pasti serupa. 

"Membandingkannya dengan kecelakaan yang menimpa Lion Air sangat menggoda, karena profilnya terlihat mirip, namun bisa jadi salah kaprah. Kita masih berada dalam tahap prematur," kata Robert Ditchey, mantan pilot US Navy dan eksekutif maskapai yang kini menjadi konsultan penerbangan, seperti dikutip dari USA Today.

"Ini adalah pukulan bagi Boeing, tetapi kita belum bisa serta-merta menyalahkan Boeing. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin tak ada kaitannya dengan pesawat itu sendiri, melainkan kebetulan semata."

Senada, pengamat penerbangan Indonesia, Chappy Hakim menggarisbawahi bahwa memang ada kesamaan hal antara kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302 dengan Lion Air JT 610.

Namun, Chappy mengimbau agar publik tidak serta merta memukul rata kedua kecelakaan untuk kemudian sampai ke kesimpulan yang tendensius dan menyudutkan berbagai pihak.

"Begini, bahwa iya kebetulan kedua kecelakaan terjadi pada pesawat yang sama (Boeing 737 MAX 8), benar juga bahwa keduanya jatuh pada critical minutes setelah take off, dan betul bahwa semua penumpang tewas dalam kecelakaan itu --tanpa mengurangi rasa duka dan hormat kepada keluarga korban," kata Chappy saat dihubungi Liputan6.com, Senin (11/3/2019).

"Tapi, untuk sampai pada kesimpulan akhir atau menyebut bahwa ada kerusakan dan penyebab serupa, dan ini sama seperti yang saya katakan saat tragedi JT 610, maka, perlu adanya penyelidikan menyeluruh dan komplet atas hal itu," jelasnya. "Hingga ada hasil penyelidikan menyeluruh, semua itu hanya perkiraan."

Soal analisis awalnya terkait kecelakaan Ethiopian Airlines, Chappy memperkirakan bahwa "mungkin" terjadi ketidakberfungsian dari sensor Angle of Attack (AOA) yang membaca kondisi stall pesawat --sama seperti bagaimana hal itu terjadi pada Lion Air JT 610.

"Saya lihat begitu dan publik pun, termasuk media, mulai mengarah ke hal demikian," jelasnya.

Ketika sistem komputer pesawat mendeteksi pesawat berada dalam kondisi stall, hal itu akan secara otomatis memicu respons, seperti menurunkan hidung pesawat (nosedive), untuk mencegah atau keluar kondisi stall.

Dalam dinamika aviasi, stall adalah pengurangan koefisien gaya angkat yang dihasilkan oleh foil sebagai Angle of Attack (AOA) yang bertambah dari batas normal. Hal ini terjadi ketika sudut kritis AOA pada foil itu telah melewati batas wajar.

Demi keluar dari stall, pilot biasanya meningkatkan AOA dan sudut kritis AOA dengan tujuan untuk memperlambat kecepatan stall dalam level flight.

Namun, jika langkah antisipasi tidak dilakukan, kondisi stall mengakibatkan airflow menjadi terpisah dari airfoil. Itu akan memicu pesawat mengalami hentakan (buffeting) atau perubahan attitude (perubahan pada rotasi tiga dimensi sudut) --yang salah satunya adalah penurunan altitude secara mendadak

"Orang selama ini mengatakan, ternyata sensornya salah, automatic safety devices-nya juga, dan itu mungkin yang terjadi pada Lion (Air), itu yang mungkin terjadi pada Ethiopian (Airlines)," kata Chappy.

"Tapi itu harus dibuktikan lewat investigasi yang menyeluruh dahulu. Apakah sudah ada? Belum, termasuk Lion Air JT610 yang masih tahap preliminary. Jadi enggak bisa terburu-buru menyimpulkan dan dengan cepat menyebut kedua hal sama," jelasnya.

Chappy juga menilai bahwa "tidak tertutup kemungkinan ada faktor lain" dalam kecelakaan Ethiopian Airlines. "Selain faktor di Boeing misalnya, ada faktor lain seperti di pihak maskapai, pilot, maintenance, dan lain-lain, dan lain-lain..."

Kapushidrosal Laksda TNI Harjo Susmoro menyerahkan black box bagian Cockpit Voice Recorder (CVR) pesawat Lion Air JT 610 kepada Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (14/1). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebaliknya, Thomas Anthony, direktur Program Keselamatan dan Keamanan Penerbangan di University of Southern California, mempertanyakan apakah otoritas penerbangan nasional Amerika Serikat atau Federal Aviation Administration (FAA) punya sumber daya dan pengaruh politik ke raksasa industri penerbangan sekelas Boeing -- yang bersaing sengit untuk memperebutkan supremasi dengan produsen pesawat terbang Eropa: Airbus.

Ia menambahkan, fakta bahwa tidak ada kecelakaan fatal dari maskapai besar AS dalam lebih dari 10 tahun telah mengurangi dorongan untuk membuat regulasi yang ketat. Padahal, inovasi teknologi mutlak membutuhkan pengawasan. 

"Catatan keselamatan Boeing sangat bagus, tetapi setiap kali pesawat baru dikeluarkan, sejatinya ada masalah," kata Anthony seperti dikutip dari USA Today. "Adakah perubahan yang berisiko bahaya, dan apakah kita memiliki sumber daya di FAA untuk dapat mengawasinya?"

Pengamat industri percaya bahwa FAA tidak mungkin memberlakukan larangan terbang pada MAX 8 kecuali jika menemukan bukti kuat bahwa pembuatan atau desainnya berkontribusi terhadap kecelakaan.

"Ini sangat mencurigakan," demikian menurut Mary Schiavo, mantan Inspektur Jenderal Departemen Transportasi AS atau US Transportation Department kepada CNN.

"Ada pesawat baru yang jatuh dua kali dalam setahun. Itu membunyikan alarm di industri penerbangan." Sinyal waspada.

Setelah kecelakaan Oktober lalu, Boeing mengirim pemberitahuan darurat ke perusahaan penerbangan untuk memperingatkan tentang masalah terkait sistem anti-stall.

Boeing diperkirakan akan merilis tambalan perangkat lunak ke sistemnya untuk menangani masalah tersebut. 

Larangan Terbang Sementara

Sebagai langkah pencegahan, Ethiopian Airlines menghentikan pemakaian Boeing 737 MAX 8 miliknya, menyusul langkah China yang lebih dulu membuat keputusan untuk mengandangkan lebih dari 90 kapal terbang jenis itu.

"Meski kami belum tahu penyebab kecelakaan, kami memutuskan tidak menerbangkan armada tersebut sebagai langkah pencegahan ekstra," demikian diumumkan pihak maskapai Ethiopian Airlines.

Cayman Airways juga tak menerbangkan dua pesawat sejenis. Langkah itu kemudian diambil Kementerian Perhubungan RI. Maskapai yang menggunakan Boeing 737 MAX 8 adalah Garuda Indonesia sebanyak satu unit, dan Lion Air yang punya 10 unit.

Seperti dikutip dari BBC, pesawat Boeing 737 MAX 8 masih digunakan oleh sejumlah maskapai, terutama di Amerika Serikat, seperti American Airlines, Southwest Airlines, dan United Airlines.

Maskapai lain yang juga menggunakan pesawat sejenis untuk penerbangan internasional adalah Aerolíneas Argentinas, Air China, Icelandair dan LOT Polish Airlines.

Terkait keputusan menggunakan atau mengandangkan Boeing 737 MAX 8, menurut Chappy Hakim, itu adalah hak otoritas terkait. 

"Hanya, otoritas penerbangan harus beralasan dalam menerapkan penangguhan itu, harus tahu sampai kapan, dan harus punya referensi pada hasil penyelidikan yang menyeluruh," tambahnya.

"Tapi ingat, dari sekian banyak pengguna MAX 8, sampai saat ini, hanya Lion Air dan Ethiopian yang celaka." Meski, ia menambahkan, wajar juga jika penangguhan kemudian diterapkan demi safety concern atau kekhawatiran publik atas keselamatan penerbangan.

Secara terpisah, Ketua Sub-Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo mengaku pihaknya belum mendapatkan data maupun informasi terkait kecelakaan Ethiopian Airlines. 

Sementara, saat ditanya soal perkembangan investigasi KNKT soal kecelakaan Lion Air, Nurcahyo mengaku belum ada hasil pasti. "Belum. Belum. Masih jauh," tambah dia. 

Let's block ads! (Why?)

from Berita Internasional, Sains, Feature, Kisah Inspiratif, Unik, dan Menarik Liputan6 kalo berita gak lengkap buka link di samping https://ift.tt/2VMePr6

Bagikan Berita Ini

0 Response to "HEADLINE: Kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302, Horor Lion Air yang Terulang?"

Post a Comment

Powered by Blogger.