Liputan6.com, Ternate Selatan - Gadis belia itu terlihat riang bermain. Ia bersama empat orang temannya mencari keong laut, di tepian Pantai Kalumata, Ternate Selatan. Ia adalah Maharani (13). Pelajar SD Banau Kota Ternate itu tampak sibuk mengutak-atik batu dan pasir pantai.
"Saya senang bermain di sini. Bersama teman, tadi habis olahraga di sekolah langsung ke sini. Tong (kami) cari ikan dan keong," katanya, begitu disambangi, di tepian pantai, Sabtu siang.
Lokasi bermain Maharani berbeda dengan anak-anak umumnya yang tinggal di pesisir pantai Pulau Ternate. Ia tak lagi bermain di atas pasir alami pantai pada umumnya. Ini dialami karena sebagian besar pesisir pantai di pusat kota itu telah direklamasi dan dibangun jalan.
Pesisir Pantai Kalumata masuk dalam pengembangan jalur reklamasi lanjutan APBD 2019. Di depan pantai itu tampak Pulau Maitara, yang terkenal karena ditampilkan di uang pecahan kertas Rp 1.000.
Lokasi bermain anak tersebut hilang jika Pantai Kalumata ditimbun Pemerintah Kota Ternate. Bahkan, lokasi yang sering menjadi tempat berteduh dan berkumpul para ibu-ibu, orangtua dari anak-anak pesisir setempat itu akan dibangun hotel, jalan, dan kafe.
"Sepanjang pantai ini dulunya banyak pohon kelapa dan mangrove. Sekarang tidak ada. Sebagian besarnya yang ada di pesisir telah disapu ombak," kata Nona, warga Kalumata.
Nona mengisahkan, tahun 2010 hingga 2013, pada jarak kurang lebih 20 meter dari bibir pantai Kalumata, masih ditemukan banyak ikan. "Sekarang jarang. Kalau mancing sudah susah," kata Nona.
"Justru sekarang banyak sampah plastik dan pasir hasil galian C," lanjut Nona.
Galian C atau golongan batuan hasil penambangan pasir di Puncak Kalumata terbawa air hujan melalui Jembatan VI Kelurahan Kalumata. Pantai Kalumata menjadi satu-satunya kawasan teraliri pasir itu. Aliran sedimen juga disertai ribuan sampah plastik.
Pulau Ternate adalah salah satu kota di Provinsi Maluku Utara, Indonesia bagian Timur. Luasan kota itu 5.681,30 km persegi dan dikelilingi laut. Sementara, luas daratan 133,74 km persegi dengan kemiringan lereng terbesar di atas 40 persen yang mengerucut ke arah puncak gunung dan wilayah laut 5.457,55 km persegi.
Di tengah pulau inilah gunung berapi aktif Gamalama berdiri kokoh. Berkali-kali gunung yang menjadi ikon di Ternate itu memuntahkan abu. Riwayat letusan besarnya terjadi tahun 1775 dan menenggelamkan sebuah kampung di Kecamatan Ternate Barat.
Namun, seiring perkembangan zaman dan populasi penduduk, ancaman yang dihadapi Ternate tak "hanya" bencana letusan Gamalama. Kota ini terancam dampak dari pembukaan hutan untuk perumahan dan permukiman, galian C, buangan sampah, dan reklamasi pantai.
Ridwan Lesi, Ketua Pusat Studi Oseanografi Ternate, mengatakan perubahan bentang alam ini terjadi begitu kompleks, unik dan dinamis yang rentan terhadap kerusakan ekosistem.
"Sebagian besar pesisir pantai ini kritis karena aktivitas pengembangan pembangunan yang berdampak pada abrasi pantai dan naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim global," kata Ridwan, ketika disambangi, di Fakultas Perikanan Universitas Khairun Ternate, pekan lalu.
Ridwan mengatakan kerusakan di pantai pun sama halnya terjadi dengan kerusakan di darat. Pembukaan lahan hijau menjadi kawasan permukiman yang setiap saat bertambah tanpa didukung sistem drainase yang baik menyebabkan Pulau Ternate banjir dan tergenang air saat hujan deras.
"Juga tanah longsor. Bahkan, ancaman tanah longsor ini semakin meluas dari Kecamatan Ternate Selatan hingga Kecamatan Ternate Utara," ujar Ridwan.
Dia menyatakan, peluang longsor yang paling riskan itu berpotensi terjadi di Puncak Kalumata. Saat hujan deras dan material pasir jenuh dengan air, peluang longsor besar sekali. Hal ini membahayakan warga.
Ridwan mengatakan aktivitas pembangunan yang mengubah bentang darat dan laut itu berdampak terhadap makhluk hidup. Hal itu antara lain seperti intrusi air laut yang masuk ke sumber air bagi PDAM di Ternate Utara.
"Jadi apa pun yang terjadi ini ada hubungannya, misalnya galian C di Kalumata Puncak sudah banyak sekali sedimen yang masuk melalui Kalimati Jembatan VI hingga ke daerah pantai," katanya.
Selain karena pengambilan pasir, Ridwan mengemukakan abrasi juga disebabkan proses dinamika oseanografi pada pesisir pantai yang berarus dan bergelombang tinggi. Karena itu, ia sangat menyayangkan potensi abrasi tersebut kian dipercepat oleh aktivitas pengambilan pasir di hulu hingga hilir.
from Berita Daerah dan Peristiwa Regional Indonesia Terbaru kalo berita gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2PwwmBOBagikan Berita Ini
0 Response to "'Tong' Khawatir Hilangnya Hutan Mangrove Tergerus Reklamasi di Pantai Kalumata"
Post a Comment