:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2806633/original/010887000_1557934180-SELAT_NUSAKAMBANGAN-Ridlo.jpg)
Syahdan, Candra Pangin berseteru dengan saudara seperguruannya yang sama-sama berasal dari wilayah Mataram. Keduanya memiliki guru yang sama, di lereng Gunung Lawu.
Candra Pangin difitnah, diadu domba dengan sang guru. Sang guru lantas marah dan membawakan tepes, atau kulit kelapa ke saudara seperguruan Candra Pangin.
Sesampai di Laguna Segara Anakan atau Kampung Laut, tepes itu diletakkan ke atas air. Setelah dilepas ke air, mendadak tepes berubah menjadi buaya.
"Tidak lama dari itu kakek buyutku dikabarkan hilang diterkam buaya," Kustoro menerangkan.
Kustoro memperkirakan peristiwa itu terjadi kisaran tahun 1840-an. Sejak saat itu, warga Kampung Laut menyebut nama buaya atau baya dengan sebutan yang berkelindan dengan hawa segan atau hormat, yakni Luhur.
Luhur, dalam budaya Jawa bisa diartikan sebagai roh atau kekuatan tak kasat mata. Luhur, biasa juga diartikan sebagai nenek moyang, leluhur. Penyebutan buaya sebagai Luhur adalah wujud penghormatan masyarakat Kampung Laut kepada buaya.
"Biasanya di sini menyebut buaya itu, Luhur, leluhur. Tapi kepercayaan yang sampai berakibat kepada perubahan budaya dan tingkah laku masyarakat sih kelihatannya tidak ada," Kustoro menjelaskan.
Terlepas benar tidaknya kisah berbalut aroma mistis ini, warga Kampung Laut masa lalu begitu akrab dengan keberadaan buaya Nusakambangan. Buaya menjadi raja di Laguna Segara Anakan, jauh hari sebelum umat manusia tinggal di kawasan ini.
Perlu harmoni dan keselarasan agar tak terjadi konflik yang bisa memicu korban jiwa di kedua belah pihak, baik manusia maupun buaya. Karena, alam diciptakan bukan untuk dikuasai, melainkan saling berbagi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Laguna Segara Anakan Cilacap, Rumah untuk Buaya Muara
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Mistis di Balik Munculnya 7 Buaya Nusakambangan"
Post a Comment